A. PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Malang
merupakan salah satu kota besar yang memiliki intensitas kesibukan yang cukup
tinggi. Hal itu dibuktikan dengan adanya banyak mahasiswa yang datang dari luar
kota. Bukan hanya aktivitas akademik saja, melainkan juga aktivitas-aktivitas
lain yang menunjang ekonomi di Malang. Untuk mendukung aktivitas tersebut
dibutuhkan transportasi umum, terutama bagi masyarakat yang tidak menggunakan
transportasi pribadi.
Dalam
rangka terciptanya keamanan, keselamatan dan kenyamanan di bidang transportasi
di Kota Malang, pemerintah menyediakan salah satu transportasi umum yaitu angkutan.
Seperti yang tertera dalam Peraturan Walikota Kota Malang Nomor 5
Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan
Kendaraan Bermotor Umum yang berbunyi Jaringan Transportasi Jalan
adalah serangkaian simpul
dan/atau ruang kegiatan
yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem
jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan. Angkutan adalah
perpindahan orang dan/atau
barang dari satu
tempat ke tempat
lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan. Lalu
Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. Kendaraan Umum
adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum
dengan dipungut bayaran baik langsung
maupun tidak langsung.[1]
Salah
satu kebijakan pemerintah Kota Malang dalam menentukan kendaraan umum adalah
mengenai tarif angkutan. Untuk menindaklanjuti hasil rapat Forum Lalu-Lintas
dan Angkutan Jalan Kota Malang dan perwakilan pemilik angkutan kota tanggal 23
Januari 2015 dalam rangka membahas penyesuaian tarip angkutan kota berdasarkan
perubahan harga bahan bakar minyak, menyesuaikan Peraturan Walikota Malang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang
Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Malang Nomor 24
Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan.
Seperti
yang terdapat dalam pasal 1 yang berbunyi bahwa beberapa ketentuan dalam
Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarif Angkutan, diubah
sebagai berikut: Tarip Angkutan Kota di Daerah untuk jenis kendaraan angkutan
kota dan untuk semua jalur trayek dengan ketentuan harga premium Rp. 6.000
(enam ribu rupiah) sampai dengan Rp. 8.000 (delapan ribu rupiah) ditetapkan
sebagai berikut; (a) antar Terminal dan atau jauh dekat bagi penumpang bukan
mahasiswa atau pelajar sebesar Rp. 3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah); (b) antar
Terminal dan atau jauh dekat bagi penumpang pelajar berseragam atau mahasiswa
sebesar Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah).[2]
Namun
dalam praktik di lapangan, banyak sekali ditemui praktik-praktik tidak sesuai
dengan peraturan tersebut yang dilakukan oleh sebagian besar sopir. Banyak di
antara mereka yang menaikkan harga angkutan secara sepihak. Banyak masyarakat
yang tidak mengetahui akan adanya hal itu. Biasanya oknum ini beraksi ketika
terdapat mahasiswa atau orang yang baru pertama kali datang ke Malang. Banyak
sopir angkutan yang sengaja memeras mereka. Selain menaikkan harga angkot
secara sepihak, mereka juga terkadang memaksa dengan harga sekian. Sebagian
besar sopir angkot mengatakan tidak ada uang , bahkan ada yang mengatakan harga
3500,- sangat murah dan tidak sebanding dengan jarak yang ditempuh.
Dari
paparan di atas, akan dibahas mengenai maraknya sopir angkot yang berbuat
curang dan tidak menaati peraturan dari Peraturan Walikota Malang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Tarip Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun
2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013
Tentang Tarip Angkutan.
2.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
implementasi dari Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip
Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan.
2.
Mengapa
terjadinya praktik yang tidak sesuai dengan Peraturan Walikota Malang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Tarip Angkutan Dalam Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun
2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013
Tentang Tarip Angkutan
B.
KAJIAN PUSTAKA
1.
Teori Implementasi Hukum
Menurut
Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu:[3] Pertama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus
berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda,
dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Struktur
sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini: jumlah dan ukuran pengadilan,
yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta
mengapa) dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain.
Aspek lain
sistem hukum adalah substansinya.
Yaitu aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem
itu. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada
dalam sistem hukum itu atau suatu keputusan yang dikeluarkan. Penekannya
di sini terletak pada hukum hukum yang
hidup (Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books).
Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya – seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan
hidup yang berenang di lautnya. Friedman
mengibaratkan sistem hukum itu
seperti “struktur” hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan
atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja
yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.[4]
2.
Sistem Penetapan Tarif Angkot
Sistem penerapan tarif adalah cara pengenaan tarif
pada penumpang. Cara yang dipakai akan memegang peranan penting dalam
pengolahan angkutan umum agar nilai tarif yang sudah ditetapkan dapat
memberikan keadilan bagi semua pengguna dan dapat menggerakkan lalu lintas
dengan lancar. Secara umum, menjelaskan tarif angkutan adalah suatu daftar yang
memuat harga-harga untuk pemakai jasa angkutan yang disusun secara teratur dan
dihitung menurut kemampuan angkutan. Tarif operasional ialah tarif angkutan
dimana terdapat perbedaan tarif menurut jarak kecepatan, atau sifat khusus dari
muatan yang diangkut, sedangkan dalam melakukan penetapan besar nilai tarif
didasari oleh dua nilai pokok yaitu:[5]
a.
Biaya penyedia angkutan umum,
b.
Keuntungan atau laba yang diinginkan.
Secara umum sistem penerapan tarif digolongkan menjadi:
a)
Sistem flat atau rata, yaitu sistem yang
menetapkan tarif untuk seluruh penumpang dan semua jarak.
b)
Sistem mileage basis atau berdasarkan jarak,
yaitu sistem menetapkan tarif yang berbeda-beda untuk masing-masing penumpang
sesuai dengan jauhnya jarak perjalanan.
c)
Sistem group rates, merupakan gabungan dari
flat dan mileage basis, yaitu sistem tarif angkutan yang berdasarkan pada asal
dan tujuan penumpang.
d)
Sistem tapering rates yaitu sistem dengan
mileage basis atau berdasarkan jarak tetapi pertambahan tarif tidak
proforsional dengan perubahan jarak. Semakin jauh jarak perjalanan, maka
pertambahan tarif akan kecil. Sistem ini sangat tepat digunakan untuk
perjalanan jarak jauh dengan banyak transit dengan kata lain diberikan harga
khusus untuk perjalanan langsung dan menerus.
e)
Sistem tarif berdasarkan status penumpang dalam
hal ini tarif dibedakan sesuai dengan status penumpang, sehingga ada kelompok
penumpang dengan tariff berbeda. Pembagian kelompok ini dapat berdasarkan usia,
status dan lain-lain, misalnya pelajar dan non pelajar.
Sistem
pembedaan tarif sesuai dengan waktu, yaitu pembedaan berdasarkan jumlah
penumpang pada waktu bersangkutan. Keberhasilan pembadan tariff sistem ini sangat bergantung dari elastisitas
perjalanan yaitu perubahan jumlah
penumpang jika ada perubahan tarif atau ada perubahan biaya total.
Elastisitas dan keberhasilan penetapan tarif dengan pembedaan ini sangat
ditentukan oleh jumlah penumpang dan harga tiket awal.[6]
3.
Wewenang Membuat Peraturan Daerah
Berdasarkan
konstitusi serta peraturan perundang-undangan lembaga yang berwenang dalam
pembentukan perundang-undang adalah:[7]
a)
Dewan
Perwakilan Rakyat secara bersama-sama dan dengan persetujuan Presiden.
Sementara yang berhak mengajukan usul rancangan undang-undang dapat berasal dari
DPR, Pemerintah, dan DPD.
b)
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD dan Kepala Pemerintah yang membentuk
peraturan daerah yang berhak mengajukan usul rancangan peraturan daerah.
Landasan
Kewenangan membuat undang-undang dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan
antara lain:
1)
UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2)
UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
3)
UU
No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah.
Hak
mengajukan usul penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diajukan oleh
eksekutif dan legeslatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari
lembaga/instansi eksekutif dan legislative lah yang berhak untuk mengajukan
rancangan peraturan dimaksud dengan menggunakan pintu masing-masing.[8]
4.
Materi Muatan dan Pembentukan Perda
Undang-undang mengatur beberapa prinsip mengenai Perda sebagai
berikut:
1.
Kepala
Daerah menetapkan Perda dengan Persetujuan DPRD
2.
Perda
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas penbantuan dan penjabaran
lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3.
Perda
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda lain, atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.
Perda
dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima juta rupiah.
5.
Keputusan
Kepala Daerah ditetapakan untuk melaksanakan Perda
6.
Perda
dan keputusan kepala daerah yang mengatur, dimuat dalam lembaran daerah.
7.
Perda
dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik penyelenggaraan Perda (PPNS
Perda dan Keputusan Kepala Daerah)[9]
5.
METODE PENELITIAN
1.
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan kata lain
adalah jenis penelitian
hukum sosiologis dan dapat
disebut pula dengan penelitian lapangan, yaitu mengkaji
ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di
masyarakat. Atau suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan
nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk
mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan
data yang dibutuhkan, setelah
data yang dibutuhkan terkumpul
kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya
menuju pada penyelesaian masalah.[10]
Disebut penelitian Empiris, karena hendak mengetahui
alasan bahwa mengapa sebagian besar sopir angkot tidak menaati Peraturan
Walikota Malang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tarip Angkutan Dalam Peraturan
Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan. Untuk mengetahui pandangan
mereka tentang peraturan tersebut.
2.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan
yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekataan kualitatif.
Pendekatan kualitatif ialah prosedur penelitian yang menghasilkan data
yang deskriptif, yang bersumber dari
tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang
dapat di observasi oleh manusia. Menggunakan pendekatan
kualitatif karena data-data yang akan
didapatkan oleh peneliti bersumber dari
ungkapan yang dapat
diobservasi dari informan
yaitu pembuat peraturan tarif
angkot Kota Malang, sopir angkot, dan penumpang.
Mengenai
tingkah laku mereka, peneliti akan mendapatkan data-data dari ungkapan infroman
di atas melalui wawancara mengapa mereka menetapkan tarif angkutan yang tidak
sesuai dengan peraturan yang ada. Sesuai dengan landasan pada pendekatan kualitatif yaitu
lebih menekankan pada pola tingkah
laku manusia, yang dilihat dari “frame of reference”si
pelaku itu sendiri, jadi individu
sebagai actor sentral perlu dipahami dan merupakan satuan
analis serta menempatkannya sebagai bagian dari suatu keseluruhan.[11]
3.
Analisis
Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deskriptif
yaitu memaparkan permasalahan yang
dihadapi atau penelitian yang memberi
gambaran secara cermat
mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan
gejala yang terjadi.[12]
Dalam hal ini mengolah bahan hukum dengan melakukan tela’ah bahan kepustakaan
bahan hukum sekunder yang meliputi bahan hukum primer[13]
dan bahan hukum sekunder[14]
yang berkaitan dengan analisis yuridis normative terkait implementasi perwali
Malang. Peneliti menyajikan secara Deskriptif, yakni dengan menggambarkan suatu
keadaan yang terkait dengan implementasi peraturan mengenai tariff angkot yang
tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
6. PAPARAN DAN ANALISIS
1. Implementasi
Hukum
Angkutan umum merupakan salah satu
transportasi di Malang yang sering banyak digunakan. Manfaat dari transportasi
ini tentu sangat banyak. Di antaranya guna membantu aktivitas-aktivitas di Kota
Malang, baik aktivitas akademik, ekonomi dan sosial. Angkutan umum ini menjadi
pilihan untuk mengatasi meningkatnya kebutuhan masyarakat akan transportasi.
Salah satu kebijakan pemerintah Kota Malang dalam menentukan
kendaraan umum adalah mengenai tarif angkutan. Berdasarkan pasal 2 ayat (1)
dalam peraturan tersebut yang berbunyi,
Tarip Angkutan
Kota di Daerah untuk jenis kendaraan angkutan kota dan untuk semua jalur trayek
dengan ketentuan harga premium Rp. 6.000 (enam ribu rupiah) sampai dengan Rp.
8.000 (delapan ribu rupiah) ditetapkan sebagai berikut; (a) antar Terminal dan
atau jauh dekat bagi penumpang bukan mahasiswa atau pelajar sebesar Rp.
3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah); (b) antar Terminal dan atau jauh dekat
bagi penumpang pelajar berseragam atau mahasiswa sebesar Rp. 2.000,00 (dua ribu
rupiah).[15]
Namun dalam praktik di lapangan, banyak sekali ditemui
praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Peraturan Walikota tersebut. Banyak
sekali pelanggaran yang terjadi di lapangan, di antaranya sopir angkutan umum
yang menaikkan harga angkutan secara sepihak, memaksa dengan pembayaran tariff
angkot, memanfaatkan ‘ketidaktahuan’ masyarakat, dan lain-lain.
Dalam kasus ini apabila ditinjau dari teori implementasi hukum oleh
Lawrence M. Friedman seperti yang sudah dipaparkan di atas, ada tiga unsur
dalam sistem hukum, yaitu: struktur , substansi , dan budaya hukum. Struktur
berhubungan dengan jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta mengapa)
dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Aspek lainnya
adalah substansi yang berkenaan dengan aturan, norma, dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam system, sedangkan dari aspek budaya berkenaan dengan sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Agar implementasi hukum dapat ditegakkan, maka ketiga unsure di
atas tidak dapat dipisahkan.
Secara substansi hukum yang mana aturan, norma, dan pola prilaku
nyata manusia yang berada dalam sistem, tentu saja hal ini telah melanggar
Peraturan Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Tarip Angkutan. Pelanggaran
terhadap pasal ini pun sangat beragam. Di antaranya adalah banyak di antara
mereka yang menaikkan harga angkutan secara sepihak. Begitupun banyak
masyarakat yang tidak mengetahui akan adanya hal itu.
Ada beberapa faktor mengapa banyak masyarakat tidak mengetahui akan
hal itu, di antaranya adalah tidak adanya sosialisasi mengenai harga tarif
angkutan, juga banyaknya sopir angkutan yang sengaja memaksa untuk membayar
dengan harga sekian. Bahkan ada pula yang sengaja tidak mengikuti jalur angkutan
yang telah ditentukan, setelah itu sopir angkot menetapkan harga sesuai dengan
kemauan sopir angkot. Biasanya, karena ketidaktahuan masyarakat inilah yang
sengaja dimanfaatkan oleh sopir angkot.
Sebenarnya mengenai sosialisasi harga tarif angkutan sudah tertera
di setiap pintu masuk angkutan. Namun sayangnya banyak sekali dijumpai beberapa
angkutan yang menghapus tarif tersebut. Yang awalnya hanya harga Rp 2000 bagi
pelajar, dan Rp 3500 bagi umum, kemudian dihapus oleh sopir angkutan umum.
Bahkan ada yang menghapus tariff tersebut secara menyeluruh sehingga tidak ada
jejak mengenai peraturan yang diberikan oleh Dinas Perhubungan Kota Malang.
Selain itu banyak juga oknum sopir angkutan yang sengaja memaksa
penumpang untuk membayar sekian. Terutama pada salah satu kode angkot yang
mengaku jarak dan waktu yang lama tidak sebanding dengan harga di perwali
tersebut. Biasanya oknum ini beraksi ketika terdapat mahasiswa atau orang yang
baru pertama kali datang ke Malang. Banyak sopir angkutan yang sengaja memeras
mereka. Dari tarif umum yang hanya berkisar 3500 rupiah, mereka rata-rata
mengambil harga sekitar 5000 rupiah. Bahkan pada malam hari, juga banyak
ditemukan pembayaran yang tidak wajar. Dari tarif yang bisa dikatakan paling
rendah, yakni sekitar 7500 rupiah hingga 15000 rupiah. Bahkan juga terkadang
apabila dalam keadaan sepi, sopir angkot ada yang menggunakan tarif paling
tinggi, yaitu 25000 rupiah.
Menguatkan dari hasil observasi sebelumnya, penulis berhasil
mewawancarai beberapa pengguna angkutan umu. Nia mahasiswa UIN Malang, selaku
pengguna angkutan mengaku tidak tahu tentang peraturan tersebut. Dalam
wawancara tersebut, Nia mengatakan, “Saya tidak tahu jika peraturan asli dari
Dinas Perhubungan Kota Malang adalah 3500. Selama ini saya membayar dengan
harga 4000,- bahkan saya pernah dipaksa membayar 5000,- ketika naik AL.
Alasannya karena tidak ada kembalian.”[16]
Namun Qolbi, salah satu mahasiswa Universitas Negeri Malang yang juga sering
menggunakan angkutan umum, mengaku bahwa ia lebih sering membayar angkot sesuai
dengan peraturan yang ada, “Saya sendiri bayar angkot sesuai dengan peraturan
yang ada, yaitu 3500,-. Itupun harus dilihat-lihat dulu bapak sopirnya. Kalau
enakan, biasanya bayar segitu. Kalo enggak, terpaksa bayar 4000,-. Sebagian
besar sopir angkot tidak mempermasalahkan itu.”[17]
Menelisik secara lebih lanjut mengenai teori Lawrence M Friedman,
aspek kedua dari teori tersebut adalah structural. Pada aspek kedua ini
berhubungan dengan struktur sistem hukum yang terdiri dari unsur berikut;
jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang
diperiksa, dan bagaimana serta mengapa) dan cara naik banding dari satu
pengadilan ke pengadilan lain. Namun dalam kasus pelanggaran ini, struktur
hukum ini hanya melibatkan Dinas Perhubungan Kota Malang selaku penyusun dan
pelaksana kebijakan daerah di bidang perhubungan.
Dinas Perhubungan kota Malang selaku bagian dari struktur hukum
memiliki banyak fungsi demi tegaknya hukum yang ada, tugas dan fungsi Dishub
Malang dalam bidang angkutan sendiri di antaranya; Perumusan dan pelaksanaan
kebijakan teknis di bidang perhubungan; Penyusunan dan pelaksanaan Rencana
Strategis dan Rencana Kerja di bidang perhubungan; Penyusunan dan penetapan
rencana teknis jaringan transportasi; Pemantauan dan pengawasan transportasi
jalan dan kebandarudaraan; Pelaksanaan kegiatan bidang pemungutan retribusi; Pengelolaan
pengaduan masyarakat di bidang perhubungan.[18]
Dinas Perhubungan Malang selaku pelaksana kebijakan pemerintah
dalam bidang perhubungan mengaku telah mengetahui adanya praktik-praktik yang
tidak sesuai dengan perwali. Penulis berhasil wawancara Cahyo Budi Santoso,
selaku petugas lapangan di Bidang Angkutan Umum Dinas Perhubungan Malang, “Selaku
petugas pelayan publik, kami mengacu pada peraturan yang ada seperti yang ada
di perda ini. Tapi kenyataan yang ada di lapangan, angkutan kota selaku usaha
milik pribadi, kalau ada kejadian
seperti itu adalah oknum. Kami tidak bisa memeriksa setiap angkot. Selama ini
juga banyak pengaduan dari masyarakat, tetapi kenyataannya pelaksanaan itu
kurang maksimal. Karena pelaksanaannya di jalan dan dalam keadaan bergerak.”[19]
Melihat kembali teori tersebut dari aspek kedua yakni struktur hukum,
Dinas Perhubungan kota Malang diberi wewenang untuk menerapkan hukum serta lembaga
yang diberi wewenang untuk melakukan penindakan terhadap pihak yang melanggar
ketentuan hukum. Dalam wawancara penulis dengan Cahyo Budi Santoso mengatakan,
“Hukuman bagi mereka yang melanggar tentu ada. Sebelum menginjak ke hukuman, pelapor
harus benar-benar tahu persis pelaku pelanggaran. Contohnya catat saja nomor
angkot tersebut. Nanti pasti ada tindak lanjut. Lapor saja ke Kantor Dinas
Perhubungan Malang di bidang angkutan. Setelah itu petugas mencari nomor
mikrolet yang sudah diadukan, selama di jalan setelah diserahkan ke bidang
angkutan, turun diposisikan bidang penerbitan, setelah itu langsung ditindak di
jalan-jalan.”
Setelah kedua unsure tersebut telah terpenuhi, aspek lain yang
mendukung terlaksananya penegakkan sistem hukum adalah budaya hukum. Budaya
hukum ini menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum –
kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum
adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan social yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan.[20] Setiap
kelompok masyarakat memiliki budaya hukum, mereka memiliki pandangan yang tidak sama terhadap hukum, yang
dipengaruhi oleh sub culture (SARA, usia, jenis
kelamin, pendidikan, pendapatan
bahkan oleh kepentingan-kepentingan)[21]
Dalam mengimplementasikan teori di atas, dapat dikatakan bahwa
budaya hukum yang terdapat kasus ini adalah sikap manusia yang mengindikasikan
rendahnya kesadaran dan kepatuhan hukum yang ada. Banyaknya
pelanggaran-pelanggaran sopir angkot dinilai sebagai rendahnya kesadaran hukum.
Untuk mengubah budaya hukum yang ada pada masyarakat perlu memahami adanya
nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan. Pemahaman arti hukum
dan peraturan itu sendiri, mengenai penerapan perwali tentang tarif angkutan.
Budaya hukum yang terjadi di masyarakat tidak terlepas dengan
kebiasaan yang ada di masyarakat. Sebagian besar masyarakat pengguna angkutan
umum ini telah mengetahui mengenai peraturan ini. Akibat dari kebiasaan
meng’iya’kan realitas yang ada, akhirnya mendorong ‘para oknum’ melanggar
peraturan yang ada. Sehingga kesadaran hukum yang ada di masyarakat rendah dan
telah menjadi kebiasaan melanggar hukum yang telah ditetapkan.
2.
Alasan Tarif Angkot yang Tidak Sesuai dengan Perwali
Dalam pembahasan kali ini penulis tidak terlepas dengan masalah
budaya hukum. Di mana di Indonesia sendiri kesadaran hukum masih dirasa sangat
rendah. Pelanggaran sudah dianggap hal biasa orang sebagian besar masyarakat di
Indonesia. Padahal budaya hukum inilah aspek yang paling penting. Karena tanpa
adanya budaya hukum, maka system hukum pun akan tumpang.
Ada beberapa alasan mengapa sebagian besar sopir angkot menerapkan
tariff angkot yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Penulis berhasil
mewawancarai Habib, salah satu sopir angkot yang mengatakan bahwa, “Kebijakan
walikota itu tidak adil. Harusnya kenaikan premium, harus dilihat dari
presentase. BBM naiknya berapa, maka kenaikan juga harus sesuai dengan
presentasi. Dengar-dengar,apabila BBM turun 500,- maka tariff angkot juga turun
500,- nah kalau seandainya BBM turun 6000,- terus 3000,- itu habis. Mengenai
penarikan angkot lain saya tidak tahu. Coba disurvey dengan angkotan lain
bahkan ada yang mengambil harga Rp. 10000.”
Selain itu penulis juga melaksanakan wawancara dengan salah satu
sopir angkot yang tidak menyebut namanya, “Saya tahu peraturan itu, tapi memang
kita sengaja bulatkan menjadi 4000,- karena tidak ada uang receh. Saya sendiri
mengikuti peraturan yang ada, hanya saja memang masyarakat sudah terbiasa
dengan harga 4000,-. Masyarakatpun seolah meng’iya’kan.”
Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya
mempertanyakan juga aspek penegak hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh
Soerjono Soekanto tentang Kesadaran dan Kepatuhan Hukum di tahun 1982, membuka
pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mematuhi
secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara
konsekuen dalam hubungan bermasyarakat.[22] Dengan
adanya pelanggaran sopir angkot yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat,
tentu saja keterlibatan masyarakat pengguna angkot dalam melaporkan pelanggaran
ini tentu sangat berpengaruh dengan penegakkan hukum di Indonesia, utamanya di
Kota Malang. Dengan kerja sama masyarakat dalam pengaduan masyarakat maka turut
membantu penegakkan tersebut.
C.
KESIMPULAN
Dari
paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi dari Peraturan
Walikota mengenai tariff angkutan masih terjadi banyak pelanggaran. Peraturan
ini sudah dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan kota Malang selaku pelaksana
kebijakan di bidang perhubungan. Hanya saja dalam implementasinya banyak
ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh sopir angkot. Pelanggaran tersebut
berupa penarikan tariff secara sepihak dan memaksa.
Hal
itu disinyalir karena sebagian masyarakat menerima begitu saja pelanggaran yang
ada. Kurangnya pengaduan dari masyarakat inilah yang menjadikan sopir angkot
terbiasa dengan pola pelanggaran seperti yang telah dipaparkan di atas. Dari
sinilah pentingnya kesadaran hukum bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat agar
terciptanya system hukum yang sempurna dan tidak terjadi ketimpangan.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011
Ananda, Kiky Rizky. Pemberlakuan Tarif Angkutan Umum Perdesaan Bagi Pengguna Jasa
Angkutan Umum Menurut Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2013 dan Maslahah Mursalah, Malang: UIN Malang,
2016.
Ashshofa, Burhan.
Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Evanti, Nukila dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (PERDA)
Berperspektif HAM (Hak Asasi Manusia).
Jakarta: Raja Grafindo, 2014
Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction Second
Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Jakarta:
PT. Tatanusa, 2001
Huda, Ni’matul.
Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Nusa Media, 2010.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta,
Indonesia: PT. Gramedia, 1993
Saifullah, Refleksi
Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010) h. 105
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam
Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Hadjar, Abdul Fickar dkk. Analisis
komparatif Budaya Hukum Profesional Hukum Indonesia. http://www.reformasihukum.org/ID/file/anggota/Analisis%20komparatif%20Budaya%20Hukum%20Profesional.pdf
Dinas
Perhubungan Malang, Tupoksi, http://dishub.malangkota.go.id/tupoksi/
Peraturan
Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang di Jalan dengan Kendaraan Bermotor Umum
Peraturan
Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan
[1] Peraturan
Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang di Jalan dengan Kendaraan Bermotor Umum
[2] Peraturan
Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan
[3] Lawrence M.
Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah
Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001,
hal 7
[4] Lawrence M.
Friedman, American Law An Introduction Second Edition, h. 7
[5] Kiky Rizky Ananda, Pemberlakuan Tarif Angkutan Umum Perdesaan Bagi Pengguna Jasa
Angkutan Umum Menurut Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2013 dan Maslahah Mursalah, (Malang: UIN Malang, 2016) h. 37
[7] Nukila Evanti
dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (PERDA) Berperspektif HAM (Hak
Asasi Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014) h. 29
[8] Nukila Evanti
dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (PERDA), h. 29
[9] Ni’matul Huda,
Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2010) h. 205
[12]
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta,
Indonesia:Gramedia, 1993) h. 89
[13] Zainuddin Ali,
Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 47
[14] Zainuddin Ali,
Metode Penelitian Hukum, h. 54
[15] Peraturan
Walikota Malang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Malang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Tarip Angkutan
[16] Wawancara
dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2016
[17] Wawancara
dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2016
[18] Dinas Perhubungan
Malang, Tupoksi, http://dishub.malangkota.go.id/tupoksi/, diakses pada
tanggal 12 Desember 2016 pukul 6.34
[19] Wawancara
dilaksanakan tanggal 8 Desember 2016
[20] Lawrence M.
Friedman, American Law An Introduction Second Edition, h. 7
[21] Abdul Fickar
Hadjar dkk, Analisis komparatif Budaya Hukum Profesional Hukum Indonesia,
http://www.reformasihukum.org/ID/file/anggota/Analisis%20komparatif%20Budaya%20Hukum%20Profesional.pdf diakses pada
tanggal 12 Desember 2016
[22] Saifullah,
Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010) h. 105
0 Komentar