![]() |
https://www.familyfriendpoems.com/ |
Satu minggu yang lalu mungkin
menjadi hari yang berbahagia untukku. Sebuah pertemuan yang mengembalikan
puing-puing masa lalu yang pernah ada dalam kehidupan di setiap diri mereka,
terutama aku. Hati yang sempat kering ini pun kembali mengeluarkan buah segar
dari akar yang sempat mati. Menjalar ke seluruh permukaan tanah yang tak
berujung, seperti halnya rinduku yang terbayar dalam momen satu minggu yang
lalu. Rindu ini tak semakin hilang, melainkan semakin tumbuh tanpa memiliki ujung.
Aku selalu menganggap
orang lain diam tanpa arti. Ketika aku mulai melangkahkan kaki di gerbang hijau
itu, tak ada yang aku cari kecuali mereka, adik-adik tingkat kampus. Aku datang
selaku ‘kakak’ paling tua yang bersikap seperti anak kecil. Bukannya aku
membantu mereka, aku malah sibuk mencari jati diriku yang hilang. Iya. Seperti
apa yang dikatakan Jon beberapa bulan yang lalu yang mempertanyakan jati diriku
yang tidak jelas. Aku pun hanya tertawa sinis ketika melihat dua orang ‘jahat’
itu berdiri berdampingan selayaknya perompak Somalia yang siap bersekongkol
untuk membunuh jati diriku itu. Ah, panggil saja dua orang itu dengan sebutan
bajak laut yang menutup matanya sebelah. Merekapun mengincarku dengan sebelah
mata.
Baru saja aku
menginjakkan kaki di markas milikku, aku langsung menemui teman yang aku anggap
sebagai tameng yang siap aku jadikan pelindungku ketika kedua bajak laut itu
mulai meledakkan meriam besar di hadapannya. Benar saja. Aku yang ketika itu mengajak
tamengku keluar, dua bajak laut itu mulai mengintai jati diriku yang lemah ini.
Mereka berjalan santai di belakangku selayaknya perompak yang masih berada di
ombak yang tenang. Aku hanya mengintai mereka dengan lirikan yang tak seberapa.
Karena aku takut jika aku ketahuan melihat mereka, maka mereka akan mengetahui
titik kelemahan yang aku punya.
Berkali-kali kedua
bajak laut itu menembaki kapal yang aku miliki. Aku tetap bertahan walaupun
sebenarnya aku tak tahu agar bagaimana kapal yang aku tumpangi tak tenggelam
begitu saja. Aku berusaha menghidari tembakan itu dengan memanggil
teman-temanku agar kapalku menjauh dari kapal kedua bajak laut itu. Tapi
sayangnya, kapal mereka terlalu ganas melebihi keganasan gelombang air Samudra
Hindia. Mereka semakin ganas. Dorr! Aku terkena tembakan salah satu di antara
mereka. Ah, untung peluru panas itu hanya melewati bahuku sehingga hanya
menyisakan sedikit luka bakar. ‘Tapi
tunggu! Jangan membuatku tenggelam terlebih dahulu, aku belum siap menangis.’
Kataku. Aku kecolongan kali ini.
Aku semakin
lemah. Tak ada strategi khusus yang aku miliki untuk menghindari peluru mereka.
Dorr!! Peluru itu datang menghampiriku lagi. Kali ini diletuskan oleh bajak
laut yang lain. Aku melihatnya padahal aku sudah berusaha untuk menjauh. Tapi
lagi-lagi aku kecolongan. Rintihan air mata kesakitan semakin tak tertahankan.
Tapi untung saja teman di sampingku menepuk pundakku dan memberiku kepercayaan
diri. Aku kembali berdiri dan menantang mereka. Mereka mulai melemah.
Setelah
beberapa jam mereka melancarkan aksinya, lautan di seberang sana nampaknya
cukup tenang. Tak terlihat lagi kapal kedua bajak laut itu. Aku mulai
memberanikan diri menggerakkan kapalku kembali. Kapal mereka benar-benar
hilang. Walaupun begitu, aku harus tetap waspada akan kedatangan mereka secara
tiba-tiba. Akupun melanjutkan perjalananku kembali.
Perjalanan
hamper usai. Kapalku mulai menjauh dari samudra luas itu dan mengucapkan
selamat tinggal kepada kedua bajak laut itu. Aku melihat kanan kiri dan segala
penjuru arah, benar saja mereka hilang. Tapi … DOR!! Peluru itu mengenai
tubuhku. Aku lemah. Penglihatanku seolah-olah kabur dan tak mengingat jelas
kejadian itu. Yang aku ingat hanyalah senyum sinis dari salah satu bajak laut
yang ternyata berhasil menyelinap di kapal milikku. Aku lemah. Sangat lemah.
Aku melihat bajak laut itu kembali. Dia berhasil menjarah barang-barang yang
ada di kapalku dan mengancam bahwa ia akan terus mengintaiku. ‘Beri aku satu
kotak harta karun emas. Akan aku tunggu engkau di daratan!’ kata salah satu
bajak laut itu. Ia pun pergi begitu saja tanpa menjelaskan daratan mana yang
harus aku temui. Tapi yang jelas ancaman itu benar adanya.
Setalah
seminggu peristiwa itu, bajak laut yang berhasil menembak dan mengancamku tak
kunjung memberi kejelasan daratan mana yang bisa aku temui untuk menembus kekalahan
itu. Bajak laut itu tetap menutup mata dan membiarkanku tersesat di daratan
yang tak berujung itu. Aku mencarinya tapi tak ada satupun petunjuk yang aku
dapat. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menyerah dan mencari daratan lain
untuk melarikan diri dari ancaman sang bajak laut. Tapi apa daya aku yang tak
memiliki jati diri dan pendirian yang teguh. Pelarianku ini malah semakin
membuat bajak laut itu berhasil membuatku terancam.
Setelah
ancaman itu semakin mendekat, akhirnya aku menemukan kedua bajak laut itu.
Akupun tunduk lemah dan memberikan seluruh harga diriku terinjak di hadapan
mereka. Sekotak emas yang mereka mintapun aku beri. Sampai akhirnya aku terdiam
dan tak bisa melawan dengan apapun. Aku semakin merintih kesakitan ketika bajak
laut itu berhasil menyiksaku dalam tanah yang sudah mengering itu. Aku kalah
dan aku lemah. Aku marah tapi tak berdaya. Tubuh dan hatiku sudah terlalu
tunduk di hadapan mereka. Sampai akhirnya semua kesakitan ini tanpa tahu akan
berakhir. Aku ingin pergi, tapi aku lemah.
0 Komentar