Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Aliran Kepercayaan



sumber foto: https://www.senayanpost.com/

PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG ALIRAN KEPERCAYAAN
Oleh: Izzatul Ulya
Hukum Tata Negara, Fakultas Syari’ah, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
Regarding the guarantee of embracing religion and belief respectively has been explained in the UUD 1945 28i and 29 paragraph (2) about religion. However, in the reality of people in Indonesia, there is still conflict between religion and inter-faith. Even in 2008 there were 12 cases indicated belief around the existence of the house of worship. In the certain places where potential conflicts and acts of violence by believers have become an obligation of authorities for the government and police to ensure the protection of security to prevent the occurrence of violence against the rights of citizens. In its development, the flow of trust is not entirely satisfactory because there is still residual discrimination in civil administration. Currently, the Constitutional Court (MK) recognizes the existence of ‘Believers’ by listing the name in the identity card (KTP) as human rights implementation. But of course this caused controversy.
Keyword: believers and human rights

PENDAHULUAN
Pandangan tentang persatuan dan kesatuan merupakan pencerminan dari masyarakat Indonesia yang memiliki prinsip Bhinneka Tungga Ika. Prinsip ini mengharuskan untuk mengakui bahwa bangsa Indonesia baik dari suku, bahasa, agama, dan lain-lain sangat beragam. Dalam bidang agama sendiri, Indonesia mengakui keberadaan enam agama terbesar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Selain itu keberagaman Indonesia mengenai penghayat kepercayaan mencapai 187 aliran yang telah tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[1] Keberagaman Indonesia, terutama pada bidang agama inilah yang terkadang memunculkan perbedaan hingga timbulnya konflik. Hal ini disebabkan karena rasa fanatisme sehingga menimbulkan pandangan berbeda terhadap kelompok lain sehingga menimbulkan perpecahan.
Mengenai hak hidup dalam menjalankan agama dan kepercayaan telah dipaparkan secara jelas dalam Pancasila pada sila pertama yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang mana dalam hal ini, Indonesia berdasarkan atas asas Ketuhanan Yang Esa atau monotheisme. Selain itu, mengenai jaminan dalam beragama juga dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan secara tegas dinyatakan dalam ketentuan pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[2]
Secara filosofis, ajaran agama merupakan sumber ilmu tentang bagaimana kita berpikir secara positif, sistematis, empiric sampai ke dalam pemikiran-pemikiran dan para filsuf yang mungkin kurang dimengerti dan pahami, maka kita perlu urgensi filsafat untuk manusia itu sendiri. tentunya dalam agama mempunyai pedoman untuk dijadikan sebagai kerangka berpikir secara realistis dan sistematis sebagai ajaran sains dari ajaran agama atau ketuhanan yaitu dengan menjadikan kitab suci atau wahyu menjadi referensi terbaik dalam mengarahkan akal pikiran manusia.[3]
Selain itu, dalam konstitusi di Indonesia juga terdapat hak hidup bagi beberapa golongan masyarakat, hal ini dikenal dengan kepercayaan. Apakah pemahaman antara agama dan kepercayaan memiliki makna tersendiri, baik secara prinsipil dan secara substansi. Di Indonesia, kepercayaan yang ada dalam masyarakat baik yang bersumber dari agama atau di luar agama serta yang melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kebatinan, kejiwaan, kerohanian, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk dalam bagian dari kegiatan yang bersifat mistik, kejawen, pedukunan, peramalan, paranormal, dan metafisika. Pada pengertian lain kepercayaan juga bersifat sebagai paham hasil budaya bangsa yang mengandung nilai spiritual/kerohanian.[4] Perkembangan aliran kepercayaan di Indonesia sangat pesat. Penyebarannya bukan hanya di Jawa melainkan juga tersebar di beberapa provinsi lain di Indonesia.
Atas keberagaman antara agama dan kepercayaan inilah yang membuat sebagian besar masyarakat yang heterogen menjadi daerah yang rawan konflik. Setidaknya pada tahun 2008 terdapat 12 kasus berindikasi kepercayaan di seputar keberadaan rumah ibadah. Pada beberapa tempat tertentu yang potensial konflik dan tindakan kekerasan oleh penganut aliran kepercayaan sudah menjadi kewajiban otoritas bagi pemerintah dan polisi untuk menjamin perlindungan keamanan terutama mencegah terjadinya kekerasan atas hak-hak warga negara. Pada perkembangannya, aliran kepercayaan memang tidak sepenuhnya memuaskan karena masih terdapat sisa diskriminasi secara administrasi sipil.[5] Sehingga keberadaan kelompok aliran ini merupakan hal yang sangat penting guna harmonisasi kehidupan masyarakat. Namun saat ini melalui putusan Mahkamah Konstitusi, mengenai aliran kepercayaan ini telah diakui yaitu dengan pemberian nama agama local tertentu di Kartu Tanda Penduduk (KTP) guna penegakkan Hak Asasi Manusia seperti yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 Tentang Agama.
Keputusan MK tersebut tentu menimbulkan banyak pro dan kontra. Sebagian mendukung putusan MK ini karena mereka menyetujui akan penegakkan hak asasi manusia seperti yang telah dipaparkan dalam UUD 1945. Sedangkan penolakan mengenai putusan MK datang dari kelompok agamis yang menyatakan bahwa harus ada kejelasan mengenai kepercayaan yang seperti apa sehingga perlu adanya batasan. Untuk itulah dari paparan di atas, dalam artikel ilmiah ini akan mengkaji mengenai putusan MK mengenai kebebasan beragama sebagai pelaksanaan hak asasi manusia mengenai aliran kepercayaan.
METODE
Dalam artikel ilmiah ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka.[6] Menurut Abdul Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpus, seperti buku, majalah, dokumen, catatan kisah-kisah sejarah. Atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek penelitian.Adapun dalam kaitannya dengan hal ini, penulis paparkan prosedur penelitian yang tersusun sebagai berikut:
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model pendekataan content analysis (kajian isi), penelitian ini bersifat pembahasan yang mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Dalam penelitian kepustakaan (library research) ini, sumber data yang merupakan bahan tertulis terdiri atas sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut juga dengan data yang langsung yang berkaitan dengan obyek riset, yakni buku-buku mengenai Islam, hak asasi manusia dan humanism. Selain itu juga data sekunder, yakni beberapa artikel dan berita yang termuat di internet.
HASIL
Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Atas dasar itulah pengenalan dan pengakuan dengan cara pencantuman penghayat kepercayaan di KK dan KTP sangatlah penting. Hal ini bertujuan agar pemerintah segera membuat aturan maupun meyelerasakan kebijakan.
PEMBAHASAN
Globalisasi bagi kehidupan dan dampak bagi banyaknya krisis atas pembangunan yang tengah berjalan. Maka, dalam bentuk pembangunan nasional akan tercapai apabila di samping pembangunan yang bersifat materiil juga diiringi dengan pembangunan spiritual. Usaha pembangunan yang tidak seimbang maka dapat menggoyahkan dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu lebih mengenal identitasnya baik dari segi historis dan realita yang ada.
Apabila dilihat dari sejarah, Indonesia tak terlepas dari sejarah panjang Indonesia mengenai agama dan kepercayaan. Sebelum adanya enam agama yang diakui, Indonesia telah menganut dua kepercayaan besar yakni animisme[7] dan dinamisme.[8] Kemudian muncullah pengaruh agama, yaitu diawali dari pengaruh agama Hindu-Budha, Kristen, Islam, dan Konghucu. Kepercayaan di Indonesia tentu tidak dihilangkan begitu saja. Namun Indonesia sendiri memilih melewati proses akulturasi yang mana pencampuran budaya lama dengan budaya baru tanpa menghilangkan budaya lama. Hal itu bisa dilihat dari beberapa kepercayaan yang masih ada sekarang, seperti kejawen, sunda wiwitan dan lain-lain. Melalui proses panjang  inilah setiap masyarakat wajib menghargai adanya keberagaman ini. Begitupun pemerintah yang telah memberikan jaminan seperti yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) terhadap masyarakat mengenai kepercayaan yang telah dianutnya jauh sebelum pengaruh agama dan juga agama itu sendiri. tentu saja apabila negara telah menjamin kehidupan beragama, secara otomatis negara juga berkewajiban penuh dalam mewujudkan kerukunan beragama.
Penghayat mendapat perlindungan yang cukup baik di era Orde Baru. Mereka diakomodir melakukan pernikahan sesuai kepercayaan yang dianutnya. Bahkan cukup jelas ketika pada TAP MPR 1973, perlakuan penganut kepercayaan mendapatkan perlakuan setara dengan kelompok agama. Walaupun dalam UU kepercayaan tetap tidak setara dengan agama yang diakui negara. Jadi tidak perlu berafiliasi keagama untuk melakukan pernikahan. Karena pada saat itu kolom agama belum ada di dalam identitas.[9]
Baru setelah 1978, kelompok agama menuntut tegas bahwa aliran kepercayaan/kebatinan bukanlah agama. Muncullah Tap MPR 1978 yang menyebut tegas kelompok kepercayaan/kebatinan bukanlah bagian dari agama tapi bagian dari kebudayaan Setelah itu kolom agama diatur dalam identitas. Kebijakan ini adalah kebijakan kembar, yakni ketika penganut kepercayaan bukan dianggap agama dan semua penganut kepercayaan dipaksa harus berafiliasi ke salah satu dari lima agama, yang saat itu diakui. Saat itulah aliran kepercayaan tidak lagi eksis sebagai bagian sendiri. Sehingga muncul aliran kepercayaan Kaharingan di Kalimantan yang harus dipaksa menjadi Hindu, dan disebut Hindu Kaharingan atau Islam budaya Jawa dengan Islam Kejawen, Tao ke Budha dan lainnya. Alasan mengenai afiliasi ini adalah agar mereka mendapatkan pelayanan publik dari pemerintah. Ini bertahan hingga dipersoalkan setelah era Reformasi.
Setelah reformasi wacana Hak Asasi Manusia (HAM) menguat, di antaranya kelompok kepercayaan/penghayat ini menuntut haknya. Hal ini menghasilkan amandemen UUD 1945 tentang HAM dan agama telah mengatur keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia yang menjadi landasan hukum yaitu Pasal 28 (1), (2), (3) serta pasal 29 pasal (2). Ungkapan tentang kalimat ‘kepercayaannya itu’ dengan pemahaman yang dualitas, yaitu: pertama, aliran kepercayaan dengan pengertian sebagai kepercayaan yang realistis masih hidup di luar dari kepercayaan agama resmi yang diakui di Indonesia; kedua, kepercayaan dengan pengertian kepercayaan yang dianut agama atau kepercayaan atas keyakinan agama yang dianut di Indonesia.[10]
Perkembangan penghayat kepercayaan telah mencapai 187 aliran yang telah tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun sayangnya, pada realita yang ada para penganut penghayat kepercayaan cenderung mendapat perlakuan yang berbeda. Masyarakat adat penghayat kepercayaan yang diluar agama resmi yang diakui pemerintah hidup dalam diskriminasi. Seperti dalam menyelesaikan proses administrasi, banyak masyarakat adat penghayat kepercayaan yang terpaksa menggunakan agama atau kepercayaan lain yang resmi diakui oleh pemerintah.[11] Seperti yang diungkapkan oleh para penghayat kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, Ugamo Bangsa Batak dan Sapto Darmo mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik. Pasalnya, kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan. Hal itu memiliki dampak serius yakni sulitnya mengurus hak-hak sipil politik, seperti melamar pekerjaan, menikah dan mengakses layanan publik lainnya.
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga dalam konferensi pers di Jakarta, menyatakan bahwa ada indikasi pelanggaran HAM mengenai aliran kepercayaan. Pelanggaran tersebut bukan sekedar tidak bisa beribadah sesuai kepercayaan mereka, tetapi juga ada hak-hak sipil dan politik lain yang dilanggar. Salah satu kelompok yang mengalami masalah dalam mendapatkan KTP karena kolom agama adalah Orang Rimba. Mereka terpaksa masuk Islam demi mendapatkan kartu identitas. Pernah ada jenazah warga kami selama enam hari di Rumah Sakit Umum Jambi sampai berbau busuk. Tidak ada yang mengantar jenazah itu karena tidak punya KTP, alamatnya tidak diketahui.[12]
Setelah melewati beberapa perlakuan yang berbeda, akhirnya para penghayat kepercayaan meminta haknya kembali. Yakni dengan cara mengajukan uji materi Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Hal ini bertujuan agar mereka tak sekedar mengosongkan kolom agama, tapi diakui oleh negara. Sehingga dalam uji materi ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 November lalu.
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Artinya, bahwa penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. MK juga menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.
Jika dilihat dari sejarah di atas, pengakuan aliran kepercayaan dengan cara pencantuman nama aliran kepercayaan bukanlah sebagai jaminan. Karena, deskriminasi yang dialami oleh penganut penghayat kepercayaan karena kurang adanya pengenalan megenai aliran tersebut. Selain itu, mengenai deskriminasi ini juga tidak terlepas dari stigma masyarakat sebagai kelompok tidak beragama atau belum beragama. Juga stigma masyarakat yang mengatakan bahwa orang yang menganut aliran kepercayaan adalah orang yang primitive terutama para penghayat kepercayaan yang berada di desa-desa pedalaman. Aliran kepercayaan juga tidak terlepas dengan adanya anggapan mengenai aliran sesat, perdukunan sehingga terjadi ketidakharmonisan antara penghayat kepercayaan dengan agama sehingga aliran kepercayaan ini terasingkan.
Atas dasar itulah pengenalan dan pengakuan dengan cara pencantuman penghayat kepercayaan di KK dan KTP sangatlah penting. Hal ini bertujuan agar pemerintah segera membuat aturan maupun meyelerasakan kebijakan. Penyelarasan aturan diperlukan bagi pengayat kepercayaan, baik dalam bidang pendidikan, sosial-politik, hukum, dan ekonomi. Pemerintah dapat melibatkan para pakar yang berkaitan dengan berbagai bidang yang memahami konteks implementasi dari putusan MK secara komprehensif. Hal ini tentu saja melalui putusan MK diharapkan menghilangkan diskriminasi dan stigmatisasi yang mengatasnamakan perbedaan keyakinan atau agama. Seperti yang kita tahu bahwa komunitas-komunitas lokal sudah dahulu ada sebelum agama-agama datang ke Indonesia. Mereka memiliki kepercayaan masing-masing yang di dalamnya terdapat kesatuan kecil yang lebih dulu ada sebelum berdirinya republik Indonesia.
KESIMPULAN
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan, maka pemerintah harus menyelaraskan kebijakan baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar keberadaan penghayat kepercayaan diakui keberadaannya sehingga menghilangkan stigma masyarakat selama ini. Selain itu melalui putusan MK ini dapat menghilangkan diskriminasi dan stigmatisasi yang mengatasnamakan perbedaan keyakinan atau agama.
SARAN
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penghayat kepercayaan dan juga keberadaannya selama ini. Deskriminasi yang selama ini berlaku di masyarakat kepada para penghanut kepercayaan tentu sangat bertentangan dengan UUD 1945 yang mana dijadikan sebagai landasan peraturan dalam kehidupan bernegara masyarakat Indonesia. Untuk itu sudah selayaknya masyarakat Indonesia yang hidup dalam keberagaman saling menghargai satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Adeng Muchtar. Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama. Bandung: Alfabeta, 2010
Jirhanuddin, Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Tim Wahyumedia, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya. Jakarta: Wahyumedia, Cet II 2016
Nurdjana, IGM. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011
Nadlir,  Moh. Ada 187 Kelompok Penghayat Kepercayaan yang Terdaftar di Pemerintah dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/11/09/12190141/ada-187-kelompok-penghayat-kepercayaan-yang-terdaftar-di-pemerintah
Sahroji, Ahmad. Mirisnya Kehidupan Spiritual Para Penghayat Kepercayaan Sebelum Putusan MK Soal Kolom Agama, https://news.okezone.com/read/2017/11/08/337/1810790/mirisnya-kehidupan-spiritual-para-penghayat-kepercayaan-sebelum-putusan-mk-soal-kolom-agama
Sianipar, Tito. Komnas HAM Sebut Ada Pelanggaran HAM Terhadap Pemeluk Aliran Kepercayaan, http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42064964




[1] Moh. Nadlir, Ada 187 Kelompok Penghayat Kepercayaan yang Terdaftar di Pemerintah dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/11/09/12190141/ada-187-kelompok-penghayat-kepercayaan-yang-terdaftar-di-pemerintah diakses pada 30 November 2017
[2] Tim Wahyumedia, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyumedia, Cet II 2016) h. 33
[3] IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 15
[4] IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, h. 21
[5] IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, h. 11
[6]  Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h. 31 
[7] Kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya. Lihat di Jirhanuddin, Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 53)
[8] Kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kemampuan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup (Jirhanuddin, Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama, h. 51)
[9] Amri Amirullah,  Aliran Kepercayaan, PKI, dan Orde Baru http://www.republika.co.id/berita/selarung/suluh/17/11/22/oztqzq282-aliran-kepercayaan-pki-dan-orde-baru-part1 diakses 30 November 2017
[10] IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, h. 9
[11] Ahmad Sahroji, Mirisnya Kehidupan Spiritual Para Penghayat Kepercayaan Sebelum Putusan MK Soal Kolom Agama, https://news.okezone.com/read/2017/11/08/337/1810790/mirisnya-kehidupan-spiritual-para-penghayat-kepercayaan-sebelum-putusan-mk-soal-kolom-agama diakses pada 30 November 2017
[12] Tito Sianipar, Komnas HAM Sebut Ada Pelanggaran HAM Terhadap Pemeluk Aliran Kepercayaan, http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42064964 diakses pada 30 November 2017

Posting Komentar

0 Komentar