Islam, Humanisme dan Hak Asasi Manusia



humanisme filsafat-healthstorylove.blogspot.com
Teori Humanisme barat dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno yang memandang bahwa antara langit dan bumi, para dewa dan manusia, terdapat pertentangan sehingga muncul kebencian antara keduanya. Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi manusia. Seluruh perbuatan dan kesadarannya ditegakkan atas kekuasaan yang dzalim terhadap manusia yang dibelenggu oleh kelemahan dan kebodohannya. Hal itu dilakukan karena dewa-dewa takut menghadapi ancaman kesadaran, kebebasan, kemerdekaan, dan kepemimpinan manusia atas alam.[1]

Pada satu sisi, manusia selalu berusaha menyelamatkan diri dari belenggu dan tawanan para dewa. Untuk dapat bebas dan merdeka, manusia harus dapat berebut kekuasaan para dewa. Selanjutnya, manusia menggeser tahta mereka atas alam semesta. Dengan begitu, manusia dapat melepaskan nasibnya dari cengkraman para dewa dzalim dan menentukan kehendaknya sendiri. Tentu saja hubungan dengan corak permusuhan ini sangat logis. Sebab, dewa-dewa dalam mitologi Yunani adalah penguasa segala sesuatu. Pada dasar inilah, pentempuran antara dewa-dewa dan manusia adalah pertempuran antara manusia melawan penguasa kekuatan alam yang berlaku atas kehidupan dan nasib manusia. Dengan kekuatan, kecerdasan, dan kesadarannya, manusia mencoba untuk membebaskan dirinya dari cengkraman tersebut.[2]
Pada abad pertengahan, perspektif Yunani Klasik atas manusia ini mendapat pembaruan dari paham Kristiani, terutama sejak St. Agustinus yang memandang manusia tidak sekadar makhluk kodrati, tetapi juga adikodrati, imanen, dan transenden. Namun, gerakan humanism yang dipahami secara murni sebagai gerakan kemanusiaan yakni berkembang pada zaman Reinessance.[3] Pada masa ini konsep humanism lebih menekankan moralitas yang berpusat pada keyakinan akan martabat manusia yang mana manusia dianggap memiliki kapasitas untuk menentukan dan mengarahkan tujuan hidupnya sendiri. Kemudian, pada abad ke-17 dan 18, manusia menjadi kultus yang mengatasi berbagai permasalahan. Kekuatan akal budi dan ilmu menjadi hal utama. Kemanusiaan yang agung dan perkembangannya menjadi makna tertinggi dari sejarah.[4]
Beranjak ke pemikiran humanism barat modern di pertengahan abad Sembilanbelas, berbagai pemikir mulai merujukkan filsafat mereka sebagai humanis. Dalam periode inilah, berbagai system pemikiran muncul dan langsung mengidentifikasikan diri sebagai humanism. Dalam humanism modern terdapat tiga perkembangan, yakni:
1.      Marxisme. Muncul pada tahun 1844, Marx telah menulis tentang ide humanism modern secara eksplisit dalam karyanya Economic and Philosophical Manuscript. Ia mengatakan bahwa agama adalah hati dalam dunia tanpa hati, dan juga candu bagi manusia.
2.      Utilitarianisme. Muncul pada tahun 1862. Ide bahwa suatu tidakan itu benar jika cenderung menghasilkan kebahagiaan dan tindakan itu salah jika sebaliknya.
3.      Pragmatisme. Humanism ini berkembang di Amerika Serikat dalam bentuk pragmatism William James. Dia berpendapat bahwa kegunaan dan kepraktisan merupakan criteria untuk menilai manfaat dari ide-ide.[5]
Sedangkan pada abad ke-20 terdapat beberapa pemikir seperti Jaquet Maritain, Bernand Muchland, Boisard, Ali Syari’ati, Syed Vahiduddin yang mulai menyadari adanya ketimpangan dalam pemisahan antara agama dan humanism. Bagi mereka, agama dan humanism bukanlah suatu tradisi yang harus dipisahkan jauh-jauh dan menjadi hal yang dipertentangkan, karena keduanya mempunyai nilai-nilai yang dapat mengisi satu sama lain. Dalam Islam sendiri, pada sejarahnya sudah mengarah mengenai humanism, yaitu konsep yang ditawarkan adalah mengenai nasib manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri atau manusia tidak mempunyai sama sekali kebebasan berkehendak, tetapi nasibnya sendiri ditentukan oleh Tuhan.
Namun pada perkembangannya, humanism tidak begitu popular di kalangan umat Islam. Hal ini dikarenakan pandangan tersebut dianggap sebagai produk filsafat. Terlebih lagi bahwa humanism mengindikasikan pengertian mengenai manusia sebagai otoritas utama sehingga manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Sementara Islam bermakna sikap tunduk dan patuh terhadap otoritas yang berada di luar manusia, yaitu Tuhan. Sementara orientalisme Barat menganggap bahwa Islam adalah kedzaliman, terorisme, monarkhi, dan primitive. Islam bagi mereka adalah agama yang tidak menghargai keragaman dan tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan.[6] Hal ini karena Barat hanya melihat Islam dari unsure-unsur eksotik semata. Padahal, Islam terdiri dari pemahaman yang beraneka ragam, di antaranya tradisi kritis yang terus menyuarakan keberpihakannya pada isu demokrasi, gender, pluralism, dan Hak Asasi Manusia.
Hal yang perlu ditekankan dalam permasalahan modern saat ini adalah ketika Barat melihat Islam sebagai agama yang tidak humanis. Hak Asasi Manusia dan toleransi hingga saat ini masih menjadi topic yang hangat untuk diperbincangkan. Barat memandang bahwa Islam telah merenggut kebebasan manusia. Padahal dalam Alqur’an telah mencakup semua hal mengenai hak asasi manusia.
Islam tidak memiliki kesimpulan-kesimpulan yang tidak ilmiah dan tidak riil tentang manusia. Ia memandang manusia sebagai berasal dari tanah. Akan tetapi ia mengatakan pula bahwa pada asal-mulanya bahwa manusia menerima fitrah yang muncul dari iradat alam yang mutlak, yakni Allah. Dengan demikian, manusia memiliki substansi yang berada di antara Allah dan alam di mana selalu berada dalam transformasi menuju kesempurnaan. Dengan demikia, istilah tanggung jawab dan asas kenaikan memiliki makna.[7] Dengan demikian, humanism bukan berada dalam materialism yang rendah dan tidak terapung tanpa kehendak dan kesadaran yang buta juga tidak pula diseret ke dalam konsep metafisis yang terpenggal hubungannya dari alam realitas dan masyarakat. Dengan ini, Islam tentu beda dengan konsep Barat mengenai humanism dan hak asasi manusia yang mengajukan pembelaan atas nama keadilan dan kehormatan.


[1] Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992) h. 40
[2] Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, h. 41
[3] Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) h. 1
[4] Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora Relevansinya Bagi Pendidikan, h. 206
[5] Mark Vernon, Mengeksplorasi Humanisme, (Jakarta: Indeks  Permata Puri Media, 2015) h. 3
[6] Zulfahmi Andri, Membedah Islam, (Bandung: Pustaka, 1990) h. 1
[7] Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, h. 115

Posting Komentar

0 Komentar