Menembus Garis Batas | Tentang Perjalanan Mencari Teman



http://d1e3uqeqtqrv1j.cloudfront.net

Aku pernah merasakan fantasi melewati batas-batas itu. Kanada dengan kehidupan modernnya, Turki dengan kekayaan budaya perpaduan Eropa, Romawi, dan Ottoman, Belanda dengan sejarah Indonesia yang sangat melekat, negara Arab dengan berjuta pandangannya tentang Islam, dan Asia Tengah dengan kenangan manisnya bersama Uni Soviet. Aku melewati batas itu. Bersama imajinasi yang kian tak mengenal batas.

Seorang ustadz selalu memberi nasihat kepada jama’ahnya, ‘Berdoalah ketika waktu ashar. Itu merupakan salah satu waktu terbaik untuk berdoa.’, ‘Berdoalah ketika waktu ashar apalagi ketika hari Jum’at.’, ‘jangan lupa sholawat. Jangan lupa tulis doanya.’, dan lain-lain. Aku ikuti nasihat beliau. Aku ingin ke negeri dengan peradaban Ottoman itu. Lalu seseorang akan mengajakku keliling dunia setelah itu. Sedikit menggelikan memang. Tapi itu harapan yang aku gantungkan kepada sang pemilik garis batas.
Sejak kecil aku sering membaca buku bewarna merah dan biru yang popular, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL). Siapa yang tak tahu buku itu? Dari buku itulah aku menghidupkan imanjinasi yang sebelumnya mati. Setiap hari aku tak lepas dari buku itu. Sejak kecil, aku tahu bendera Indonesia, Monaco, dan Polandia mirip, aku tahu beberapa ibukota negara di dunia, aku tahu Laos adalah satu-satunya negara di asia tenggara yang tidak memiliki laut, juga Thailand yang tidak pernah dijajah, tak lupa juga aku telah mengenal Istanbul dengan armada kapalnya, Belanda dengan kincir dan bunga tulipnya, dan Amerika Serikat dengan gedung kembar yang angkuh. Ah, Burj Khalifa belum ada waktu itu.[1]
Aku selalu bertanya kepada Bapak dan Ibu, ‘Pak, bu, kenapa bendera Indonesia, Monako, dan Polandia mirip? Apakah kita meniru mereka? Tidak mungkin. Pasti mereka yang meniru kita!’ beliau hanya tersenyum tanpa memberi jawaban yang mereka ketahui. Aku melanjutkan penjelajahanku kembali. Melihat sederetan bendera warna-warni di dunia dan peta dunia. Ah, aku ingat bendera favoritku kala itu. Swiss dengan palang merahnya, dan Brazil dengan latar belakang warna hijau dan lingkaran bewarna biru di tengahnya! Ya. Aku menghabiskan masa kecilku dengan imajinasiku sendiri. Menikmati setiap tulisan yang terdapat dalam garis batas di peta bewarna hitam putih itu. Betapa senangnya ketika Bapak dan Ibu membelikan kakakku Atlas! Aku selalu merebutnya dari kakakku dan membuka peta dunia yang sudah tak hitam putih lagi. Bewarna-warni!‘Wah… Rusia besar sekali! Cina juga ternyata. Emm.. wah! Indonesia paling keren!’ seruku ketika melihat Atlas untuk pertama kalinya.
Entah apa yang orang-orang pikirkan ketika teman-temanku sangat membenci soal pertanyaan di peta buta. Tapi aku sangat menyukainya. ‘Aku ga suka peta buta!’ kata teman SDku. Aku hanya senyum dan berusaha memberinya penjelasan. Aku ingat ketika SD kelas tiga, aku memiliki teman yang sama-sama memiliki hobi membaca RPUL dan Atlas. Setiap istirahat, kami selalu menunjukkan satu sama lain, ‘Kamu tahu ga sungai terpanjang di Amerika?’ kata temanku. ‘Tahu dong! Amazon, kan? Hehe.’ Jawabku dengan lantang. ‘Giliranku, ya. Air Terjun terbesar di dunia?’ tanyaku. Lalu ia menjawab, ‘Niagara!’[2]
---o0o---
Buku RPUL dan Atlas sudah tidak di genggamanku lagi ketika SMP. Waktu berubah bacaan pun berubah. Tapi tenang, fantasi tentang negara di luar garis batas Indonesia masih melayang dan membayangiku di mana saja. Siklus membawaku ke dunia mitologi Yunani. Ketika SD, aku sering membaca di buku-buku pelajaran tentang Yunani. Misalnya saja mata pelajaran PPKn yang di dalamnya banyak sekali bahasa yang diserap dari bahasa Yunani. Pun ketika SMP, Yunani semakin melayang-layang di imajinasiku. Kala itu, aku menggambarkan Yunani adalah negara yang berperadaban tinggi, kaya, dan bersejarah hingga saat ini. Apalagi ditambah dongeng mengenai dewa-dewa seperti Zeus, Athena, Ares, Apollo, dan masih banyak lagi. ‘Apakah Yunani saat ini masih ada? Atau sudah lenyap ditelan oleh peradaban modern sekarang?’ kataku ketika membaca buku PPKn kelas sepuluh. Aku masih menyimpan tanya dan menyimpan imajinasiku sendiri.
Kini aku sama seperti Ulya yang dulu. Menikmati duniaku sendiri dengan beribu imajinasi dan mimpi. Waktu SMA, aku berpegang teguh untuk tetap menjadi ‘aku yang bermimpi menembus garis batas’. Aku juga pernah bersitegang dengan guru SMA. Guruku menganjurkanku untuk masuk ke IPA atau IPS. Beliau mengkhawatirkanku dan teman-teman akan masa depan anak jurusan bahasa. Tapi aku keukeuh untuk masuk ke jurusan bahasa hanya demi Bahasa Perancis. Bayang-bayang garis batas itu pun terpaku erat dalam pilihanku. Aku membayangkan jika aku mampu berbicara bahasa Perancis, aku pasti dapat menembus garis batas itu. ‘Je veux aller a France, monsieur!’[3] tulisku dalam setiap karangan narasi dalam buku bahasa Perancisku.
Imajinasiku tak terbatas di Perancis saja. Ketika kelas sepuluh, aku sering menikmati duniaku sendiri dengan gedung-gedung pencakar langit di New York, Amerika Serikat. Aku sering membaca buku tentang Amerika, seperti Konstitusi Amerika dalam Sejarah, Keliling Amerika ala Au Pair, Teori Konspirasi Dunia, dan masih banyak lagi. Dari situlah imajinasi beserta obsesiku tentang Amerika di mulai. Awal kisah aku mengagumi kehebatan Amerika beserta kehidupan liberal mereka, Empire State Building, Capitol Building, dan kehebatannya. Ya. Aku ingat waktu SD ketika aku bertanya kepada Ibu tentang negara ini, ‘Buk. Kenapa, sih, Amerika dijuluki negara Adikuasa?’ lalu Ibu menjawab, ‘Karena mereka memiliki segalanya. Mereka kaya dan sangat berpengaruh di dunia.’ Sepenggal kalimat dari Ibu itu kini sudah terjawab. Seiring berjalannya waktu aku menyadari sendiri akan kehebatan Amerika, negeri Sang Paman. Akhir kisahnya, aku tak lagi mengagumi Amerika sebagai tujuan mimpiku lagi. Negeri Sang Paman itu kini dikenal sebagai negeri dengan penuh tipu daya.
---o0o---
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa garis batas itu benar-benar ada. Garis batas itu bukan hanya gambaran garis lurus dan berbelok seperti di peta. Namun garis itu benar adanya. Bahkan garis batas di negeri perang seperti Afghanistan sangatlah mengerikan. Di tengah imanjinasi dan fantasi tentang negeri yang terkotak-kotak, aku menghentikan penjelajahanku di Turki. Memang bukan penjelajahan sesungguhnya. Aku berimajinasi dengan buku-buku perjalanan yang seolah aku terhanyut dalam rindu seseorang yang sedang menembus garis batas itu. Aku menghentikan langkahku di Turki. Aku jatuh cinta dengan negeri dua benua yang penuh dengan sejarah sesepuh Islam itu.
Apa Tuhan akan memberiku pintu untuk memasuki garis batas itu? Bagaimana aku menembus garis batas itu? Tidak ada yang tahu. Tapi sekarang aku sedang menembus garis batas itu dengan doa. Seperti apa yang dikatakan oleh seorang guru di atas. ‘Sholawatlah! Tulislah doamu! Percayalah!’ yang kemudian beliau member nasihat, ‘Iringi dengan memuji kepada Allah, Subhanallah, minimal seratus kali.’
---o0o---
Selesai
Assalamualaikum, teman-teman.. akhirnya ada tulisan baru lagi. Di tulisan ini, gue berusaha ngasih tulisan yang informatif biar teman-teman juga bisa dapat pengetahuan dari tulisan ini. Maaf kalau gaje banget. Nulisnya sambil nahan sakit perut siklus bulanan. Heheh. Awalnya ga pengin ngepost. Eh, kalau dipikir-pikir sayang juga kalau ga dibagi ke teman-teman. Oh iya, btw tulisan ini terinspirasi dari salah satu novel karya Agustinus Wibowo, ya. Jadi ada beberapa diksi yang emang mirip. Hehe. Makasih dan jangan lupa komen gaes!


[1] Sebelumnya adalah Burj Dubai yang kemudian diberi nama Burj Khalifa pada tanggal 4 Januari 2010
[2] Air terjun terbesar saat ini adalah The Angel Falls yang terletak di Venezuela. Sedangkan Niagara terdapat pada posisi ke empat
[3] Aku ingin pergi ke Perancis, Pak!

Posting Komentar

0 Komentar