![]() |
austrianstartups.com |
Sebuah lagu Turki tahun
1976 menyambar telingaku dengan perlahan. Sebuah irama mendayu Tambur yang
mampu membuat pendengarnya mabuk akan petikan senar di antara lentiknya jemari.
Matilah mendengar lagu itu ketika rindu kampong halaman. Hati menjadi semakin
meringkih, mata semakin tak tahan untuk mengeluarkan bongkahan air mata. Lagu
yang harusnya mengajakku ke dalam kebaahagiaan namun justru menarikku ke dalam
ruangan gelap tak bertepi. Kuraba setiap sudutnya namun semakin aku tak
mengenal siapa aku. Juga di dalam sebuah titik cahaya justru membawaku ke dalam sebuah labirin tanpa petunjuk. Aku
hilang.
Seperti biasa, aku
kembali hilang. Dalam keadaan yang tak mungkin hidup kembali. Sebuah cerita usang
yang tak patut lagi untuk kubagikan. Tapi bagaimana aku bisa menahan untuk
tidak menuliskannya di sini? Sedang manusia di luar sana telah bosan mendengar
cerita usangku.
Dalam tidurku inilah
aku hilang. Aku masuk ke dalam ruangan gelap yang perlahan-lahan membawaku ke
dalam sebuah ‘janji’ beberapa tahun yang lalu.
“Janji?”
tanyaku
“Iya.
Janji.” jawabnya
Harusnya perjanjian itu
tak ada. Iya, kan? Aku menyesal telah
memaksamu untuk berjanji padaku.
Bagaimana aku
menceritakannya? Sedang cerita ini semakin mengulik seluruh pikiranku. Justru
di kala pelik ini aku semakin enggan untuk menceritakannya. Dengan lama aku
memandang seluruh mimpi malam ini dan juga malam-malam sebelumnya. Tentu semua
itu terkait perjanjian yang tak aku inginkan sekarang. tapi kamu kadung
berjanji padaku. Aku menyesal.
“Aku
bingung …”
“ …”
Lagi-lagi hal yang sama
terjadi kembali. Entah bagaimana sebuah bayangan hitam itu mampu menyuguhkan
gambaran yang begitu jelas. Tentang cerita yang ternyata belum berakhir ini.
“kamu
mau nganterin aku pulang?”
“…”
“Bukankah
jalan ini telah mati? Kenapa kamu berani melewati jalan ini?”
“…”
Malang, 1 April
2018
0 Komentar