Sumpek - Cerpen


Bonjour, bonsoir, bonne nuit, amies:D ini cerpen yang pertama kali aku buat dengan niat sengaja(?). awalnya semacam corat-coret biasa, gara-gara ada tugas b.indo(waktu kelas 10, sekarang kelas 11:p) terus aku ubah jadi cerpen. Cerpen pertama tokohnya Aku, saudara yang di Kudus, dan saudara yang di Depok. Tapi biar ga ada yang merasa tersindir jadi aku ubah semua tokoh2nya & alur ceritanya. Dan cerpen ini berdasarkan kisah nyata sedikit perubahan alur (?). Salam garing... ;)

cekidot...

Sejak kecil aku selalu mendapat anggapan tentang Jakarta dan kota pinggirannya itu ‘sumpek’, individualisme, dan bahkan tidak sedikit pula yang berkata Jakarta dan pinggirannya jarang ada orang baik yang siap membantu dengan tulus dan ikhlas. Makanya aku paling sebel  kalau harus liburan ke Jakarta ataupun di kota pinggirannya itu. Sudah kesekian kalinya aku pergi ke Jakarta dan kota pinggirannya, pasti selalu ada hal yang tidak mengenakkan di hati. Entah ini entah itu. Benar-benar sumpek.
Tanggal 31 Desember 2010 untuk  kelima kalinya aku ke Jakarta. Lebih tepatnya liburan tahun baru di Depok, salah satu kota pinggiran Jakarta. Entah apa yang membuat aku semangat dan dapat menepis anggapan sumpek yang selama ini melekat di alam bawah sadarku. Bahkan sebelum aku berangkat ke Depok, teman-temanku mengingatkan aku kembali tentang kesumpekan itu. Tapi tetap saja, sugesti terselubung yang dilontarkan teman-temanku itu hanya ingin membuatku membatalkan apa yang telah aku rindukan. Aku rindu kesumpekan Jakarta dan pinggirannya.

Waktu itu aku berangkat bersama Kak Stefi, Kak Jen, dan Kak Reni dengan tujuan untuk mengikuti salah satu workshop fotografi di salah satu Universitas di Depok. Tepat pukul 16.00 WIB kami berangkat. Perjalanan Kudus – Jakarta membutuhkan waktu kurang lebih 12 jam. Bahkan lebih. Tergantung keadaan jalan dan berapa lama kita berhenti di  rest area. Selama perjalanan aku hanya sibuk dengan duniaku sendiri yang sesekalinya aku bercanda dengan Kak Stefi dan Kak Jen. Aku mengingat kembali tentang hal-hal sumpek yang pernah aku dapatkan sebelumnya. Dan sampai akhirnya aku melihat kesumpekan itu lagi. Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, saatnya jam istirahat. Namun hal lain tiba-tiba mengagetkan aku. Banyak sekali remaja yang sibuk mencari truk demi menonton konser. Yap! Malam tahun baru. Tapi bukan berarti mereka harus berkeliaran bebas seperti tak ada aturan. Jalanan ramai, konser dimana-mana, kembang api dan petasan diledakkan sana-sini. Musim banjir saat itu nampaknya juga tidak mengurangi semangat mereka. Hoam.. mataku mulai menyipit dan tidur.
***
Subuh membangunkan aku dengan suara khas jalanan Jakarta.
       “ Pagi, dek Sisil. Sholat yuk,” Kak Reni membangunkanku
       “ Udah sampai dimana, kak?”
       “ Di Rest Area Jakarta Timur, dek,”
Dengan mata sayup aku terpaksa bangun. Kiranya hal ini membuatku bahagia bisa kembali ke kota metropolitan ini. Begitupun dengan raut wajah Kak Reni yang pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Senang bisa kembali melihat orang-orang yang mempunyai karakter berbeda dengan orang-orang Kudus, kota kelahiranku. Aku dan Kak Reni lekas menuju ke tempat wudhu. Sedangkan Kak Stefi dan Kak Jen beristirahat di kantin rest area. Ketika aku sedang berwudhu, aku bertemu dengan seorang perempuan cantik dan tanpa sengaja Kak Reni menyenggol tangan perempuan itu sehingga jilbab yang ia sampirkan di pundak bagian kanannya jatuh.
“Apa-apaan sih! Lihat pakai mata dong!” sentak perempuan itu marah kepada Kak Reni.
“Iya, mbak. Maaf.. Aku ga sengaja,”
“ihh dasar!”
Baru beberapa menit aku menginjakkan kaki di Jakarta aku sudah harus bertemu dengan orang yang membuka pikiranku tentang tujuan utamaku ke Jakarta. “sumpek”.
Setelah sholat tanpa basa-basi kita melanjutkan perjalanan. Sejenak aku melupakan dunia untuk kembali tidur. Dalam tidurku tiba-tiba aku bermimpi bertemu dengan orang yang siap membantuku dan memberi sudut pandang yang berbeda tentang anggapan alam bawah sadarku selama ini. Suara bising klakson mobil di tol Jagorawi membangunkanku. Mobil-mobil membentuk banjar panjang untuk menuju ke Puncak Bogor.
Pukul 06.30 WIB. Akhirnya sampai di Cilangkap, Depok. Aku, Kak Stefi, Kak Jen & Kak Reni menginap di rumah Kak Sonya, teman Kak Jen. Ada sambutan khusus di sana. Orang tua Kak Sonya bertengkar tanpa memperdulikan apapun. Sumpek.. Apalagi di sana benar-benar diisi dengan keributan mereka.
“Maafin mama dan papaku ya..” kata kak Sonya kepada kita semua
“Iya. Nggak apa-apa kok,” jawab Kak Jen.
“Yaudah.. Kalian tidur di lantai dua aja ya,”
“Makasih ya.. Maaf ngerepotin. Hehee,”
Aku, Kak Stefi, Kak Jen, dan Kak Reni segera naik ke lantai dua. Hmmhh.. badan masih pegal-pegal. Kursi mobil yang menemaniku selama 12 jam perjalanan masih terasa di punggungku. Aku langsung melempar badanku ke tempat tidur. Memejamkan mata dan ... tiba-tiba Kak Stefi datang menghampiri ku dengan membawa jadwal workshop fotografi.
“Dek.. Ikut kakak ke workshop ya?”
“Sekarang, kak?”
“Iya. Jadwalnya dimulai jam 9.30, dek. Jadi kita persiapan sekarang,”
“Kenapa ga sama Kak Jen dan Kak Reni aja kak?”
“Kak Jen nemenin Kak Sonya. Kak Reni biar istirahat. Toh disana pasti dapat pengalaman banyak. Kamu bawa SLRnya Kak Jen aja,”
Perasaan capek membuatku semangat kembali. Aku masih penasaran mengapa di Jakarta dan pinggirannya ini sumpek. Tanpa alasan itu, mungkin selama aku di Jakarta hanya tidur, nonton tv, dan makan. Dengan semangat aku segera mandi dengan cekatan. Waktu terus berjalan dan sampai akhirnya aku berangkat bersama Kak Stefi. Seperti biasa, selama perjalanan aku hanya sibuk dengan duniaku. Aku melihat kanan kiri jalan dengan detail. Mungkin saja aku bisa mendapatkan jawaban mengapa Jakarta dan pinggirannya sumpek.
Di sela-sela perjalanan aku berfikir, jalanan benar-benar semrawut. Banyak pengguna jalan yang tidak mematuhi lalu lintas. Tidak menggunakan helm dan menerobos lampu merah aku rasa sudah menjadi pemandangan biasa di Jakarta.
Sesampainya di tempat workshop, aku dan Kak Stefi berpisah. Aku ingin melihat bagaimana orang-orang di sana berinteraksi dengan bahasa yang bermacam-macam. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang laki-laki dengan logat melayunya yang khas.
“Asli Jakarta, ya?”
“Nggak. Gue orang Kudus, Jawa Tengah. Lo orang Melayu, kan?”
“Iya. Tepatnya dari Palembang. Tujuan lo kesini apa?”
“Ya mau ikutan workshop lah.”
“Bohong. Wajah lo nunjukkin ekspresi penasaran. Emang penasaran tentang apa?”
“Sok tau ih..” jawabku cuek.
“Gue tau. Lo penasaran tentang Jakarta, kan?”
‘Deg!! Penasaran? Jakarta? Dari mana dia tahu?’ sontak aku membangunkan badanku yang tadi aku biarkan membungkuk lemas.
“Tau dari mana?” tanyaku penasaran.
“Menurut teori Emmanuel Levinas, wajah seseorang itu sebagai jejak yang tak terbatas. Bukan hanya sebagai identifikasi seseorang,”
 “Oh gitu...” Cuma kata itu yang bisa aku ucapkan. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Gue tahu lo kesini kangen sama semrawutnya Jakarta, kan?”
“Iya.. kok lo bisa tau?”
“Gue dulu juga gitu. Pertama kali ke Jakarta emang ngebosenin. Apalagi momen-momen macetnya Jakarta. Tapi setelah beberapa kali kesini ternyata asyik juga. Jakarta emang berantakan. Tapi tetap saja orang-orang selalu merindukan Jakarta.” Cerita laki-laki itu dengan membayangkan apa yang dulu pernah ia alami.
“Haha. Benar juga.”
Benar apa yang ia bicarakan. Jakarta yang berantakan tapi selalu ada momen yang berharga yang bisa kita pelajari.
“Vino, pindah ke sana yuk!” tiba-tiba ada orang yang memanggil laki-laki itu yang ternyata bernama Vino.
“Ini buku buat lo,” Vino memberiku sebuah buku tentang teori Emmanuel Levinas yang sama sekali tidak aku mengerti .
“Buat gue? Makasih ya,”
Aku tidak mengerti mengapa Vino memberi buku tersebut. Tapi seenggaknya dia orang pertama yang membuatku sedikit melupakan Jakarta yang sumpek. Pertemuan singkat yang agaknya membuatku senang dengan dia memberiku buku sebagai kenangan. Aku tidak akan melupakan hal itu. mengobrol dengan Vino sepertinya tidak ada yang sia-sia. Waktu malasku diisinya dengan cerita-cerita dan pengalaman dia selama di Jakarta yang layak untuk dipelajari. Bukan hanya sekedar cerita belaka.
Kiranya cukup lama aku duduk dan mendengarkan cerita Vino yang tanpa aku sadari jam telah menunjukkan pukul 12.00 WIB. 3 jam aku belum bertemu dengan Kak Stefi. Aku melihat jadwal workshop fotografi yang Kak Stefi berikan kepadaku. Dan ternyata workshop selesai jam 16.00 WIB. Agar waktuku tidak terbuang sia-sia, aku memotret objek-objek sosial yang ada di luar lingkungan kampus. Tanpa sengaja aku memotret anak kecil yang sedang mengumpulkan botol-botol plastik di tempat sampah khusus. Aku melihatnya dengan tatapan kasihan. Betapa tidak, seorang anak kecil yang harusnya menikmati liburan tahun baru ini, menikmati bagaimana indahnya dunia ini, anak kecil itu mencari nafkah dengan bekal satu bungkus nasi yang ia beli di warung yang lumayan agak jauh dari tempat aku melihatnya. Dengan pelan aku melihat SLR yang aku kalungkan di leherku.
‘Aku membawa barang mewah. Sedangkan dia membawa besi untuk mengambil sampah-sampah untuk dibawanya ke pengepul. Kalaupun plastik-plastik itu dijual, pasti tidak senilai dengan apa yang aku bawa sekarang’ batinku.
Sejenak hatiku terenyuh. Melihat perantau yang tak tau mereka harus ke mana. Sehingga anaknya lah yang harus menjadi korban. Aku menyempatkan diri untuk bertanya kepada salah satu pemulung.
“kenapa mulung, dek?”
“Cari uang, kak.”
“Nggak sekolah, dek?”
“Enak jadi pemulung, kak. Dapat uang”
Betapa kagetnya orang-orang besar  yang mempunyai hati nurani yang kini bekerja di gedung besar perkantoran jika mendengar jawaban seperti tadi? Entahlah...
Pukul 16.00 WIB. Saatnya kembali ke rumah Kak Sonya. Namun aku rasa aku harus bersabar untuk menunggu Kak Stefi yang entah di mana. Aku tidak ingat di mana tempat aku berpisah dengan Kak Stefi tadi. Dengan wajah pucat aku membuka hasil foto. Betapa banyak sekali kesemrawutan di Jakarta dan pinggirannya. Aku menunggu Kak Stefi di salah satu tempat makan yang berjajar rapi.  Bau chicken yang menusuk indra penciumanku itu membuatku semakin lapar.
“Hai, adek” tiba-tiba ada seorang perempuan yang menghampiriku
“Hallo, kak. Siapa ya?” dengan gugup aku menjawab sapaannya
“Nggak pesan makanan, dek?”
“Nggak, kak. Ini lagi nunggu Kak Stefi. Sebentar lagi juga datang,”
“Yaudah, dek.. ini ada air minum. Silakan, dek. Ini buat kamu,” tawar perempuan itu.
Dengan ragu aku mengulurkan tanganku dan mengambil air minum tersebut.
“Nggak usah takut, dek. Kakak orang baik kok. hehe”
“Makasih, kak.”
Siapa sangka tiba-tiba ada orang yang menawarkan aku air minum disaat tenggorokanku menjerit haus. Alhamdulillah... Semenjak kejadian itu, aku mulai mengurungkan niatku untuk mencari hal ‘sumpek’ itu lagi. Anggapanku selama ini sudah mulai berkurang. Lambat laun itu semua mengubah gaya pikirku.
Setelah beberapa menit aku  menunggu Kak Stefi akhirnya kita pulang dan aku melanjutkan tidur yang tadi pagi sempat aku tunda. Hoam..
***
 Hari kedua di Depok dan merupakan hari terakhir. Waktu terasa begitu singkat. Bahagia dan sedih untuk bisa meninggalkan Depok. Depok yang tak jauh berbeda dengan Jakarta. Sebelum pulang ke Kudus aku menyempatkan diri untuk berkeliling kompleks. Melihat bagaimana potret kehidupan sosial di sana. Selain anggapan sumpek dan semrawut, aku juga beranggapan tentang Individualisme di Jakarta dan pinggirannya itu. Tapi nampaknya individualisme itu sendiri tidak berlaku di kompleks  yang saat itu mejadi tempat pilihanku untuk beristirahat. Aku melewati sebuah taman kecil yang ramai dengan anak-anak kecil dan orang tua mereka. Aku duduk sambil memainkan ponselku. Aku sengaja duduk di dekat mereka dan tak mempedulikan mereka yang sedang bermain. Tiba-tiba ada seorang anak kecil menghampiriku.
“Kak, kok diam aja? Nggak baik lho ada orang banyak di sini tapi kakak malah sibuk main ponsel. Kata mama itu namanya nggak sopan,” kata adik kecil itu kepadaku.
Sontak aku terkejut dengan apa yang  ia katakan. Aku tak percaya hukum kesopanan di sini masih berlaku. Selama aku di Depok ataupun di Jakarta, tidak pernah ada satu orang pun yang menegurku hanya karena ponsel. WAH! Menurutku itu hal yang sangat luar biasa.
“Oh iya, dek.. Maaf ya,”
“Iya, kak. Nggak apa-apa kok,” jawabnya sambil tersenyum.
“Main yuk, kak.”
“Ayo, dek.”
Bermain dengan anak kecil yang baru saja aku kenal. Jarang aku bisa langsung beradaptasi dengan seseorang. Setelah kejadian itu aku mulai menghilangkan anggapan-anggapanku selama ini. Mulai dari anggapan sumpek, semrawut, dan individualisme. Dari semua pengalaman-pengalamanku selama 2 hari di Depok, aku mendapatkan kesimpulan ternyata masih banyak hal-hal baik yang bisa kita jadikan pelajaran. Semuanya harus dilihat dengan sudut pandang yang menyeluruh. Jakarta dan pinggirannya memang sumpek, tapi dari kesumpekan itulah masih terselip sejuta udara segar yang baik untuk kita hirup.
Setelah kejadian 3 tahun yang lalu itu aku mulai membuka anggapan baru tentang Jakarta dan pinggirannya. Tidak ada anggapan sumpek lagi untuk Jakarta dan pinggirannya yang penuh dengan variasi kehidupan. Variasi itu akan membentuk warna, dan warna akan membentuk gambar yang mengandung cerita dan makna. 

Posting Komentar

0 Komentar