Taubat dan Mimpi | Cerita Pendek (Cerpen)


           “Maaf, Sya. Hasil fotomu akhir-akhir ini menurun. Jadi, kontrak ini dibatalkan,”
“Apa? Jadi ... aku nggak bisa ikut Photograph Edu Tour di Paris, Mbak?”
“Iya. Itu sudah keputusan dari pihak pimpinan redaksi,”
Aku tertunduk lemas dan kecewa. Puluhan peserta seleksi fotografer di kantor Majalah Blitz melihatku menangis. Malu. Harapanku menjadi pengisi rubrik Flash di majalah tersebut kini musnah. Bukan hanya itu, harapan untuk mendapatkan pendidikan fotografi di Paris juga tinggal desiran angin.
“Ugh.. percuma aku mengikuti karantina selama satu minggu, buang-buang waktu saja!” aku menggumam kesal. Batinku tercambuk keras oleh kegagalan. Berkali-kali kalimat itu muncul di tengah rasa sedihku, “Bagaimana jika nanti aku kembali ke sekolah? Aku malu. Aku rela izin satu minggu demi tes seleksi ini, jauh-jauh ke Jakarta, tapi hasilnya nihil!” lanjutku.
***
Di sekolah..
Malas. Hanya kata tersebut yang sedari pagi aku ucapkan. Aku bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri di daerah kota kecil di Jawa Tengah. Sekolah yang masyhur dengan murid-murid yang islami dan berprestasi tinggi di kancah Nasional. Jujur. Aku merasa terjebak bisa berada di antara mereka.
“Apa kabar, Sya?” tanya Arin,
“Baik,”
“Gimana hasil seleksinya? Diterima, nggak? Ciyee yang mau ke Paris,”
“Nggak, Rin. Ga lolos,”
“Emm. yaudah. Tetap semangat ya, Sya!” Arin menepuk pundakku.
“Makasih.”
*bel berbunyi*
Kakiku enggan untuk melangkah ke kelas. Teman-teman pasti akan menertawakan aku yang sudah ngotot mengikuti seleksi fotografi. Sesuai dengan pengalaman dari kakak kelas, tidak ada satupun yang berhasil lolos dan bergabung di majalah terkenal tersebut.

Mereka. Mereka melihatku sinis. Mulut mereka diam. Tapi mata mereka menertawakanku. Sungguh. Aku benci mereka. Tidak ada satupun teman satu kelas yang mensupportku. Mereka selalu menertawakan mimpi-mimpiku, impianku, dan segala hal yang ada pada diriku. Apa yang mereka inginkan dariku?
Aku memilih duduk di bangku tepat di depan meja guru. Karena di sinilah mungkin aku bisa mengurangi kemungkinan mereka mencaci. Tapi ternyata..
“Haha. Nggak usah mimpi bisa jadi fotografer terkenal, deh!”
“Hidup di kota kecil kayak gini mimpinya jangan ketinggian. Jatuhnya sakiiiiit.”
“Rasain. emang enak gagal terus? Haha,”
“Dibilangin susah, sih! Mimpi lo terlalu tinggi, Sya!”
Kelasku gaduh. Mereka tidak sabar untuk mencemoohku. Satu per satu mereka mengumpulkan kata yang sesekali menusuk batin.
Ya Rahman.. Ya Rahim... Ya Malik.. Ya Qudus...
Suara Asmaul Husna dilantunkan. Aku menyebut nama-Nya dengan khusyuk tanpa mempedulikan teman-teman yang masih membicarakan kegagalanku. Sedikit demi sedikit beban hilang. Jarum yang tadi sempat menusuk, kini sudah mulai melepaskan diri.
Alhamdulillah... Terima kasih, Ya Allah. Engkau sudah memberikan kesabaran. Aku tahu Engkau sedang menguji kerendahan hatiku.
Kreeek... pintu terbuka.
“Assalamu’alaikumwarohmatullahiwabarakatuh,”
“Wa’alaikumsalamwarohmatullahiwabarakatuh,”
“Bonjour,”
“Bonjour,”
ça va?”
Ça va bien. Merci. Et-vous?”
“Ça va trés bien. Merci,”
Perancis. Salah satu pelajaran yang selalu membuatku semangat. Tapi.. Akh! Pelajaran Bahasa Perancis kali ini benar-benar membuatku bosan.
“Ada yang nyesek, nih, gara-gara nggak jadi ke Paris!!” celetuk Agathé.
Haha. Aku hanya tertawa melihat mereka. Mulut mereka terbuat dari cengkeh. Baunya harum, tetapi ketika dirasakan begitu pedas dan pahit.
Panas! Hatiku terbakar marah. Neurotransmitter1 dalam tubuhku mulai menjalar ke kelenjar endokrin suprarenalis2. Aku membanting kamusku. Kelasku sepi tercengang. Semua yang berada di kelas terdiam tak percaya melihatku marah. Aku tak peduli. Aku berjanji tidak akan kembali ke kelas ini sebelum bel pulang berbunyi.
***
Allahu akbar... Allahu Akbar...
Suara adzan Dzuhur berseru. Semua aktivitas di sekolah mulai berhenti. Orang-orang alim di sekolahku mulai berbondong-bondong ke masjid. Sedangkan aku hanya melihat mereka dengan tatapan sinis.
Neurotransmitter1  Hormon yang memicu kemarahan
endokrin suprarenalis2 kelenjar yang menghantarkan hormon kemarahan


“Haha. Aku sudah terjebak di antara orang-orang alim ini. Aku sudah lupa bacaan sholat!”
 Lucu. Bagaimana bisa aku bersekolah di sini? Sholat saja aku hanya jungkir balik. Itupun jika ada teman-teman yang melihatku sholat. Sedangkan kalau mereka tidak ada ... aku tidak pernah melakukannya! Aku ini penipu. Sifat lembutku hanya topeng untuk menutupi dustaku. Sampai kapan aku menyembunyikan dustaku ini?
Detik yang berjalan menjadi menit pun terasa lama. Aku menunggu bel pulang sekolah dengan perasaan marah. Aku menggenggam tanganku dengan erat. Berharap semua amarahku akan keluar melalui hyperhidrosis primer3 yang kumiliki.
“Assalamu’alaikum, Sasya,”
“Wa’alaikumsalam, Bu.” Aku terkejut oleh kehadiran Bu Vavi.
“Kok dari tadi kamu nggak masuk kelas, Sya? Kenapa?”
“Nggak apa-apa, Bu,”
“Udah, Sya, masalah gagal dalam kehidupan itu hal biasa. Coba Sasya introspeksi diri. Apa saja yang masih kurang dalam diri kita. Usaha harus lebih keras lagi. Yang paling penting adalah berdo’a kepada Allah dan jangan tinggalkan sholat,”
“Berdo’a kepada Allah? Apa yang harus aku minta dari-Nya? Selama ini aku menjauhi-Nya, Bu,”
Deg! Apa yang baru saja aku katakan? Aku mengatakannya? Batinku. Lalu aku pergi meninggalkan Bu Vavi tanpa pamit. Aku bingung harus pergi kemana. Mungkin satu-satunya tempat aman adalah aku kembali ke kelas.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam, dari mana saja kamu, Sya?”
“Habis dari perpus, Pak,”
“Ya sudah. Duduk. Lain kali jangan ada yang terlambat lagi,”
“Terima kasih, Pak,”
Lagi dan lagi. Aku merasa bahwa diriku ini kotor. Mulutku sama seperti mereka yang mencaciku tadi pagi. Aku sudah berbohong untuk yang kesekian kalinya!
“Silakan kalian ambil satu kertas ini. Urut absen! Bagi yang sudah mendapatkannya, harap jangan diperlihatkan kepada yang lain,”
Aku berjalan menuju meja Pak Deri, guru Fikih. Aku pikir ini hanyalah kuis biasa. Tapi ternyata ... praktik sholat. Hah? Praktik sholat? Di bab semester ini tidak ada materi sholat! Haha. Sebentar lagi topengku terbongkar!!
“Tujuan saya hanya ingin mengetahui siapa saja yang masih menjalankan sholat dengan baik dan benar,” lanjut Pak Deri.
hyperhidrosis primer3 keluarnya keringat di tangan secara berlebihan tanpa sebab
Tubuhku mematung. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku meremas pensil yang aku genggam. Kakiku bergetar tak keruan.
Satu per satu teman-temanku mempraktekannya di depan Pak Deri. Sungguh. Aku menyesal sudah kembali ke kelasku ini.
“Adlina Sasya,” Pak Deri memanggil namaku. Aku berjalan menghampiri beliau. Mataku berkaca-kaca. Takut. Teman-temanku pasti akan menertawakanku lagi. Selama ini aku dikenal mereka sebagai anak yang pintar, rajin beribadah, dan apapun itu. Tapi bagaimana jika mereka mengetahui sosokku yang asli? Apakah mereka akan membuangku?
“U.. u.. ushollii,” Aku terdiam. Sama sekali tidak ada satu arsip pun yang ada di otakku tentang bacaan sholat.
“Lho? Sasya kenapa diam? Ayo lanjutkan,” aku masih terdiam. Kaca-kaca yang ada di mataku mulai pecah. Butiran air menggenangi pipiku, “Sasya kenapa nangis?” air mataku bertambah deras. Apa aku harus mengatakan sejujurnya?
“Terakhir aku menjalankan sholat waktu masih SD, Pak,”
“Apa?? Kamu nggak bercanda, kan, Sya?”
“Nggak, Pak,”
“Keterlaluan! Bagaimana bisa? Jadi selama bertahun-tahun kamu tidak pernah menjalankan sholat?”
“Iya, Pak,”
“Pulang sekolah bapak tunggu kamu di kantor BK,”
“Iya, Pak.”
***
“Astaghfirullah, Sya. Bapak nggak habis pikir. Bisa ceritakan ke bapak mengapa kamu menginggalkan sholat?” Aku malu. Tapi untuk apa aku malu? Bukankah ini lebih baik daripada aku harus membohongi setiap orang.
“Waktu itu aku sibuk mempersiapkan UN SD, Pak. Saat itu aku masih menjalankan sholat seperti biasa. Tapi setelah aku mendapatkan hasil memuaskan, aku mulai meninggalkan sholat. Dan aku merasa bahwa nilai UN yang aku dapatkan karena kerja keras, bukan karena doaku yang didengar dan dikabulkan oleh Allah. Waktu SMP, aku terlalu sibuk dengan urusan sekolah, Pak. Sedangkan akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan pelatihan fotografi,”
Aku menceritakan semuanya kepada Pak Deri. Aku tak peduli bagaimana Pak Deri menilaiku sekarang. Tapi sekarang lega. Air mata yang selama ini membatu di hatiku mulai menghilang.
“Nggak boleh gitu, Sya. Semua harus diimbangi. Usaha tanpa doa, sombong. Sedangkan do’a tanpa usaha, buta. Kamu tidak mau seperti itu, kan?”
“Nggak, Pak,”
“Ya sudah. Masalah ini akan bapak rahasiakan dari teman-teman kamu dan guru-guru di sekolah ini. Tapi dengan syarat, besok kamu harus hafalan ke bapak sebelum jam pertama. Jika besok tidak hafal, maka masalah ini akan bapak serahkan kepada kepala sekolah.” Kata Pak Deri sambil memberikanku buku tuntunan sholat.
“InsyaAllah. Terima kasih, Pak. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
***
Ku tanya malam, namun diam
Ku tanya bulan, namun diam
Kadang ku bertanya
Kenapa tak mampu putuskan belenggu
Yang nuraninya rindu pada langit biru
            Terbelenggu dalam nestapa
            Tentang angnku yang semu
            Dan botol kosongpun tertawa
            Akan mimpi yang hampir sirna
Ku cari jawab,,
Lembayung jingga yang rapuh
Berbisik pada bayag pilu
Bersandar pada tali pelangi-Nya
***
Pagi yang cerah. Embun pagi membasahi semangatku yang masih kering. Kini aku sudah mulai merasakan kehadiran mentari. Warna hijau rerumputan yang menyambutku dengan penuh khidmat. Aku berjalan menuju sekolah dengan hati tenang. Subuh tadi aku melakukannya. Aku mulai dekat kembali dengan-Nya.
Aku siap. Tadi subuh aku sudah melakukan untuk pertama kalinya. Semangat!
“Sudah siap hafalan?”
“Sudah, Pak,”
“Silakan,”
Aku mulai menghafalkannya. Aku masih ingat sedikit tentang bacaan-bacaan sholat. Dan, ya! Aku berhasil. Aku bisa menyelesaikannya.
“Alhamdulillah.. Sekarang terserah kamu, Sya. Mau mendekatkan diri kepada Allah atau menjauhi-Nya lagi. Dan jangan lupa imbangi usaha dan do’a,”
“Iya, Pak,”
“Oh iya. Ini ada kertas amalan bulan Muharram buat kamu dan teman-temanmu. Silakan dibaca sebelum dan sesudah sholat maghrib. Dan ini buku tentang tata cara bertaubat buat kamu, Sya. Semoga bermanfaat dan semoga dengan kamu bertaubat, cita-cita kamu menjadi penulis dan fotografer tercapai, ya, Sya!”
“Terima kasih banyak, Pak. Amin...”
Aku kembali ke kelas. Sekarang aku merasa bahwa Allah sedang menjagaku. Semangatku kini berkumpul menjadi energi kuat.
Ketika sampai di kelas, aku membuka dream book-ku. Aku mencoret daftar nomor 12 yang sudah gagal aku raih. Aku menggantinya. Tadi malam aku mendaftarkan diriku sebagai peserta beasiswa fotografer melalui Insitut Francais Indonesia. Beasiswa tersebut hanya menggunakan syarat yang sederhana. Dengan penyeleksian foto via e-mail dan tercatat dalam lembaga sekolah. Penerima beasiswa akan diberi surat undangan dari pihak IFI. Tidak disengaja, salah satu temanku membaca. Lagi dan lagi mereka belum bosan menertawakan mimpiku.
***
Satu minggu kemudian..
Hari-hariku semakin lebih baik dari sebelumnya. Aku sudah melaksanakan sholat lima waktu. Dan aku yakin, hari ini aku akan mendapatkan surat undangan sebagai penerima beasiswa fotografi di Paris.
Sedang berlangsungnya pelajaran, tiba-tiba Bu Widya datang memanggilku dan memberi surat berlabel dari pemerintah Perancis. Lalu aku membukanya. Dan aku LOLOS!! Aku memasuki kelas. Bahagia. Aku yakin ini semua salah satu bukti bahwa Allah masih menerima taubat manusia.
Air mata haru menetes deras. Perasaan bahagia tak terbendung. Aku ingin menjerit. Terima kasih, Ya Allah...
“Selamat buat Sasya yang sudah lolos dan mendapatkan beasiswa pendidikan fotografi di Perancis. Semoga cita-cita Sasya tercapai. Amin..” Kata Bu Widya yang mengumumkannya di depan mimbar kelas. Semua teman-temanku bungkam. Ternganga dan terkejut oleh apa yang sudah mereka tertawakan tentangku.
2 minggu kemudian...
Hari ini aku berangkat ke Prancis. Bahagia bisa melihat Ibu, Ayah, Bapak/Ibu guru, dan teman-temanku tersenyum. Mereka menaruh harapan besar kepadaku setelah aku kembali dari Prancis.
Kamus kecil
1.      Bonjour : Selamat pagi
2.      Ça va?    : Baik?
3.      Bien       : Banget
4.      Merci     : Terima kasih
Short story by : Ulya
Puisi by : Mita

Posting Komentar

0 Komentar