“Hari ini, hari yang
kau tunggu
Bertambah satu tahun,
usiamu,
Bahagialah selalu,”
Dari kejauhan aku
mendengar samar-samar lagu dari Jamrud – Selamat Ulang Tahun. Ya, hari ini Maya
ulang tahun. Aku lekas berlari menuju taman sekolah di mana sumber suara berada.
Byurrr...
“Happy birthday 15
tahun, Maya...” ucapku yang datang secara tiba-tiba dan menceburnya ke kolam
taman sekolah.
“Ih, Citra nyebelin.
Sini kamu ikut nyebur!” Maya menarik tanganku yang tak jauh dari jangkauannya.
“Hahaha rasain kamu, Cit!” lanjutnya.
Sore itu aku habiskan
waktu bersama Maya, sahabatku. Aku sangat memperhatikan senyum Maya yang
mengembang. Wajahnya yang terlihat bahagia membuatku sangat iri.
***
Keesokan harinya di
bawah langit yang sangat cerah. Aku menyapa mentari seperti biasa. Memberikan
senyum pertamaku untuk menyapa-Nya. Pagi ini tak ada sedikitpun sisa awan
abu-abu usai hujan semalam. Pagi kian lengkap ketika aku melihat perpaduan
sinar matahari yang terik dengan langit biru dan awan putih.
Pagi itu aku masih
terbayang akan ulang tahun Maya. Aku iri. Dari kecil aku tak pernah tahu kapan
hari ulang tahunku. Aku pernah menanyakan hal itu kepada Ayah dan Bunda, mereka
hanya menjawab kalau mereka lupa akan hari ulang tahunku.
“Ayah tidak ingat kapan
Citra lahir? Citra bingung, yah, kalau teman atau guru Citra tanya kapan
tanggal lahir aku, yah.” Tanyaku.
“Citra, maafin ayah dan
bunda.”
“Bahkan untuk tahun
lahir Citra pun ayah dan bunda tidak ingat?”
“Iya. Ayah dan bunda
lupa. Maafin kita, ya..” Jawab bunda lalu memelukku erat.
Terkadang aku merasa
aneh atas kejadian ini. Begitu tidak masuk akal. Bagaimana orang tua bisa
melupakan tanggal lahir anaknya? Bahkan tahun lahir pun mereka tak ingat.
Jangan-jangan aku anak tiri? Ah tidak mungkin! Aku, Bunda, dan Kak Reni
mempunyai wajah yang mirip. Huh..
Dua tahun yang lalu aku pernah berencana untuk
merayakan ulang tahunku. Tapi aku teringat jika hari ulang tahun yang tertera
di akta kelahiranku itu palsu. Pada akhirnya aku membatalkannya. Padahal aku
ingin sekali merayakannya walaupun dengan pesta sederhana. Aku ingin meniup
lilin lalu memanjatkan doa seperti teman-temanku kala merayakan ulang tahun.
***
“Pagi, Citra!” Sapa
Maya.
Aku terkejut melihat
Maya yang tiba-tiba datang. Padahal pagi ini aku sedang tidak ingin melihat
Maya. Itu hanya akan membuatku menangis kala ingat hari ulang tahunnya kemarin.
Aku hanya terdiam dan
memandanginya dengan wajah sebal.
“Kamu kenapa, Cit? Kok
sedih gitu? Nih ada cake sisa kemarin. Hihi.”
“Nggak usah, May.
Makasih.” Jawabku singkat.
“Cit, kamu kenapa sih?”
“Nggak ada apa-apa
kok!” bentakku.
Dalam hati aku merasa
bersalah telah membentak Maya. Maya tidak bersalah, justru aku yang bersalah
karena menyalahkan dia yang telah membuatku sedih pagi ini.
Di sela-sela aku
mengobrol dengan Maya, guru Sastra pun datang. Yang semula kelasku gaduh kini
mendadak sepi.
Bu Dian, guru Sastra,
mulai menjelaskan tentang materi drama. Tapi aku sama sekali tidak bisa menyerap
satu kata pun dari Bu Dian.
“Sembilan Mei seribu
sembilan ratus sembilan puluh delapan. Ciye Citra, dua hari lagi ulang tahun.
Wah ternyata ulang tahun kita cuma beda tiga hari. Hihi,” kata Maya pelan yang
tengah melihat kartu pelajarku yang terjatuh.
Aku terkejut teringat
bahwa yang dikatakan Maya adalah tanggal lahir palsuku. Aku sesegera mungkin
merebut kartu pelajarku dari tangan Maya.
“Ih, Maya! Kamu lancang
ya!”
“Maksud kamu?” menarik
kembali kartu pelajar.
“Udah, deh, May!
Balikin kartu pelajarku!”
“Iya, iya. Kamu aneh
banget, deh, hari ini. Aku kan cuma pengin tahu tanggal lahirmu aja, Cit.”
“Nggak perlu!”
Aku tidak menyangka
jika aku akan sekeras ini kepada Maya. Aku melihat wajahnya menjadi kecut. Maafin aku, May...
***
Siang ini terlihat
mendung. Hujan rintik mulai membentuk nada tak beraturan di permukaan bumi.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi aku segera pergi dan menjauh dari Maya. Aku
tidak ingin mengucapkan satu kata pun kepadanya. Tapi Maya tetap menarik
tanganku dan kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Citra, kamu kenapa, sih?
Kamu marah sama aku cuma gara-gara kejadian tadi pagi?”
“Nggak, May. Aku cuma
lagi pengin sendiri aja,”
“Tapi bukan berarti
kamu nggak mau melihatku kan?”
“Udah, May. Aku mau
pulang. Lepasin tanganku,” Maya pun melepaskan tangan dan membiarkanku pergi.
Tiba-tiba Rama,
sahabatku yang juga sosok murid pintar berkacamata, tinggi dan agak gendut
datang di hadapanku dan menghalangiku yang ingin pulang.
“Ciye Citra dua hari
ulang tahun,” ucap Rama, “Teman-teman, dua hari lagi siapin tepung dan telur, ya!
Kita ceplokin ke Citra. Haha,” lanjutnya.
“Jangan lupa PUnya,
Cit!” sahut Indah yang berada di pojokan kelas.
“Apasih! Nggak lucu
tau!” Lalu aku pergi dan menabrak tangan Rama yang berusaha menghalangiku
pulang.
“Dih, Citra kenapa
jutek gitu, May? Biasanya nggak kayak gitu,” ucap Rama kepada Maya.
“Nggak tau, Ram. Tadi
pagi kayak kaget gitu waktu aku baca tanggal lahir dia di kartu pelajarnya.”
“Aneh ya. Mungkin dia
nggak mau ulang tahunnya dirayain atau diketauhi orang lain kali, May,”
“Nggak mungkin, Ram.
Kemarin aku sempat baca tulisan dia di buku catatan Citra. Justru dia pengin
ngerayain ulang tahunnya bareng kita-kita,”
“Tau ah.” Rama dan Maya
pun kembali ke tempat duduk.
Aku mendengar obrolan
Maya dan Rama dari luar kelas. Aku rasa rahasiaku akan terbongkar. Dan orang
pertama yang aku salahkan adalah Maya.
***
Jakarta,
7 Mei 2013
Maafin
aku, May... aku nggak marah sama kamu, kok. Aku cuma iri karena kamu bisa
merayakan ulang tahun seperti orang lain. Aku iri kamu bisa merayakan ulang
tahun bersama teman-teman, dikasih cake, kado, dan semua hal tentang ulang
tahun.
Aku
selalu bungkam ketika ditanya kapan aku lahir. Aku takut jika suatu saat nanti
tiba-tiba teman-teman datang membawakanku cake, lalu mengucapkanku ‘selamat
ulang tahun’ kepadaku padahal hari itu bukan ulang tahunku. Aku takut jika
suatu saat nanti teman-teman tahu bahwa semua itu palsu. Tuhan... Aku tidak mau
itu terjadi. Aku tidak mau mereka meninggalkanku.
Biarlah
ini menjadi rahasia antara aku dan Kau, Tuhan...
***
Setelah Maya tahu tanggal
lahirku, aku memutuskan untuk tidak membawa kartu pelajar atau hal apapun yang
berhubungan dengan tanggal lahir. Aku muak.
Pagi ini Maya terlihat
membiarkanku diam dan menjauh. Aku ingin mendekati dan menyapanya. Tapi mulutku
kelu dan enggan untuk mengeluarkan suara untuk Maya. Aku dan Maya pun tak
saling menyapa.
“Maya.
Aku kangen kamu, May. Aku pengin ngobrol sama kamu. Huhu,”
kataku dalam hati.
Seperti kemarin, hari
ini sepi menemani antara aku dan Maya.
***
Jakarta,
8 Mei 2013
Hari
ini di sekolah nggak seru. Maya udah nggak mau lagi nyapa aku. Aku kangen Maya
kalau lagi nge-joke. Aku pengin kita ketawa bareng-bareng lagi. Hiks
***
Hari ini adalah tanggal
9 Mei 2013. Di mana aku takut ada sebuah kejutan ulang tahun untukku.
Aku berjalan
mengendap-endap menuju kelas. Memastikan jika kelas aman dan tenang tanpa ada
penjebakan apapun. Kali ini aku tak berharap ulang tahunku dirayakan. Yup,
kelas aman dan tenang. Rama dan Maya tidak peduli dengan kedatanganku.
“Huh,
aman.. Mungkin mereka mengira aku marah. Makanya mereka nggak berani ngasih aku
pesta kejutan. Hahah. Eh tapi, jangan-jangan ini bagian dari script penjebakan
buat nanti siang. Bodo amat. Yang penting pagi ini kelas tenang.”
Kataku dalam hati.
Sudah dua hari aku dan
Maya tidak saling menyapa. Aku takut jika hal itu akan berlangsung lama. Selama
dua hari pula di sekolah terasa menjenuhkan. Aku hanya diam ditemani buku-buku
pelajaran yang membosankan. Huff.
Nging...
suara pengeras suara mengagetkan ruangan kelas.
Selamat
pagi. Berhubung akan diadakannya rapat guru. Semua murid dari kelas sepuluh,
sebelas dan dua belas, bisa menginggalkan sekolah. Demikian pengumuman hari
ini. Terima kasih.
“Hore! Pulang pagi,”
kelasku mendadak gaduh.
Ya, aku merasa aman
pagi ini. Tidak terlihat tanda-tanda pesta kejutan. Aku berjalan menuju taman
sekolah untuk menenangkan diri.
Aku menyanggah kepalaku
dengan kedua tanganku. Aku mengingat-ingat kembali mengapa aku menjauhi Maya
hanya karena masalahku sendiri. Harusnya aku tidak mencampurkan masalah
pribadiku dengan Maya dan teman-teman. Aku sangat merasa sendiri kali ini.
“Happy birthday 15
tahun, Citra!” ucap Maya dan Rama tiba-tiba.
Byur...
Aku tercebur ke kolam.
Seragamku basah. Aku berusaha payah untuk bangkit. Belum lama aku berdiri di
tepi. Satu telur mendarat dengan pelan di kepalaku. Rambutku mulai terlihat
gimbal. Dua telur, tiga telur dan empat telur, semua berhasil. Aku seperti
dibully. Dilempari telur dan dikelilingi oleh teman-teman yang tertawa puas.
Aku hanya memandangi
mereka dengan wajah marah. Tapi mereka masih tertawa keras. Mereka belum puas
melempariku dengan empat telur. Mereka kembali mengguyurku dengan bubuk coklat.
Aku berdiri mematung. Perlahan mataku meneteskan air mata mengingat bahwa hari
ini bukan ulang tahunku.
“Happy birthday 15
tahun, Citra!! Happy birthday! Yuhuuu,” ucap Rama.
“Haha. Yeayy akhirnya
kita sukses ngerjain Citra! Hahaha,” teriak Maya dengan senyum puas.
Aku diam tanpa gerak.
Aku menyembunyikan air mataku dari mereka. Aku tidak mau melihat mereka kecewa.
Tapi hatiku sakit. Dalam hati aku berteriak hari
ini bukan ulang tahunku, May, Ram... Aku tak tahu kapan aku dilahirkan.
“Citra, kamu kenapa
diam aja, Cit? Kamu masih marah sama aku dan Rama?”
“Maafin kita, dong,
Cit.”
“Citra, kamu kenapa
nangis?” tanya Maya kembali.
“Hari ini bukan hari
ulang tahunku!!” bentakku dengan menangis.
“Maksud kamu?” tanya
Rama.
“Aku nggak tahu kapan
aku dilahirkan, May! Ram! Ayah dan Bunda nggak ingat kapan aku lahir! Bahkan
aku nggak tahu umurku sekarang!”
Maya, Rama dan
teman-teman terkejut mendengar pernyataan yang baru saja aku lontarkan. Mereka
masih belum bisa menyerap pernyataanku.
“Maksud kamu apa, sih,
Cit?” tanya Maya.
“Waktu aku kecil, akta
kelahiranku hanyut waktu Bunda hampir saja kecelakaan. Tas yang berisi akta
kelahiranku terlempar di sungai, May! Orang tuaku terlalu sibuk, May! Mereka
sama sekali nggak ingat kapan aku dilahirkan!” Tangisanku bertambah keras. Aku
melihat Maya ketakutan melihatku menangis seperti ini.
Maya memelukku.
Sedangkan Rama merasa bersalah karena ia yang membuat ide kejutan ulang tahun
ini.
“Citra... maafin kita,
Cit. Kita nggak bermaksud bikin kamu sedih kayak gini,” Maya memelukku semakin
erat. Ia seperti tak peduli dengan tubuhku yang penuh dengan telur.
“Tanggal sembilan Mei
itu nggak ada, May! Itu semua palsu! Itu semua rekayasa, May!” Air mataku
semakin deras.
“Udah, Cit. Jangan
nangis lagi. Kita bisa, kok, nyepakatin hari ulang tahun kamu.” Ucap Rama.
“Tapi gimana caranya,
Ram? Aku aja nggak tahu kapan aku dilahirkan, Ram!”
“Oke. Mulai sekarang
kita resmiin hari ulang tahun kamu. Aku dan Maya sepakat kalau tanggal 9 Mei
adalah ulang tahunmu.”
“Atau kita bisa kok, di
ulang tahunku dan ulang tahun Rama, kita janji nggak bakal ngerayain ulang
tahun. Anggap aja kita sama-sama nggak tahu kapan kita dilahirkan. Iya, kan,
Ram?” Kata Maya sambil menepuk pundak Rama.
“Ide bagus, May!” jawab
Rama.
Air mataku mendadak
tertahan. Aku tertawa mendengar Maya dan Rama mengeluarkan ide konyol itu.
“Haha. Kalian
apa-apaan, sih. Konyol banget. Haha.”
“Yeee. Malah ketawa.
Aku dan Maya serius, Cit,”
“Tapi nggak gitu juga
kali, Ram,”
Suasana yang awalnya
sedih tiba-tiba mencair.
“Maafin aku, May, Ram.
Dua hari ini aku diamin kalian. Aku nggak marah sama kalian, kok. Hihi. Thanks
ya buat kejutan ulang tahunnya. Walaupun aku sendiri nggak tahu kalian ngasih
kejutan ke siapa. Haha,”
Maya dan Rama pun
memelukku sebagai peresmian hari ulang tahunku yang jatuh pada tanggal 9 Mei.
Haha.
***
Jakarta,
9 Mei 2013
Terima
kasih buat Maya dan Rama. Kalian sahabatku. Terima kasih udah ngasih kejutan
ulang tahun. Akhirnya aku bisa merayakan ulang tahun bersama sahabat-sahabatku.
Terima kasih. Hari ini seneng banget, deh! Seru!
***
SELESAI
Oh iyaaaaa... kalau ada kritik dan saran boleh banget lho. ditunggu komennya..
bisa lewat twitter @UlyaIzza atau email izzaulya@gmail.com. terima kasih :)
0 Komentar