PEMUTIH GIGI
Aku mulai pasrah. Semangat hidupku kini berkurang 0,1% dari
100%. Aku berjalan keluar dari klinik. Masih teringat jelas akan diagnosa yang
baru saja aku dapat dari dokter spesialis langganan tetangga.
“Sering makan apa saja
kalau di rumah?”
“Lebih seringnya, sih, teh, dok. Teh manis, teh herbal dan
teh hitam!” jawabku tanpa dosa.
“Nah! Kurangi konsumsi manis dan teh,”
“Tapi, dok. Gigiku sudah terlanjur kuning,”
“Sudah tidak ada jalan lagi selain mengurangi konsumsi manis
dan teh. Saya yakin selamanya gigimu akan tetap menguning. Tapi, Bleaching dan
Veener gigi mau? Harganya sekitar dua juta,” aku terkejut mendengar tiga kata
terakhir dokter. Huff.. Lebih baik uang itu aku tabung untuk membeli hp
keluaran terbaru nantinya. Eh.
***
Cuaca pagi yang cerah tidak bisa mengalahkan kerisauan
hatiku. Aku melihat cermin kecil milik Rara dan memandangi secara detail
rentetan gigi. Tidak ada masalah. Gigiku bersih tanpa noda. Hanya sedikit
kuning yang tentu saja membuatku tidak nyaman dan kurang pede. Ugh!
“Erin, lo kenapa, sih?” tanya Rara. Aku hanya menggeleng
mengisyaratkan ‘tidak apa-apa’ kepada Rara, “Muka lo kenapa kusut gitu?
Biasanya setiap pagi lo senyum-senyum nggak jelas, Rin. Kenapa, sih?!”
lanjutnya.
“Gigi gue, Ra. Kemarin gue ke dokter gigi langganan tetangga
gue. Dokter bilang kalau gigi gue nggak bisa putih lagi. Bisa, sih, tapi harus
lewat Veener gigi. Itu kan mahal, Ra. Hiks,”
“Hahaha... Cuma gara-gara itu lo jadi sedih?”
Ah, Rara nggak akan pernah tahu betapa kacaunya hari ini
hanya karena gigi kuningku. Rara malah tertawa keras dan memandangiku sebagai
orang yang berlebihan.
“Santai aja kali, Rin! Coba, deh, lo buka youtube, di sana
banyak tutorial memutihkan gigi,”
“Apasih. Gue nggak
percaya. Dokter aja kemarin bilang kalau gigi gue nggak bisa putih lagi kalau
gue nggak pake veener atau bleaching,”
“Udah, deh, Rin! Percaya sama gue. Cepetan gih buka youtube
sekarang,”
Aku pun menuruti nasihat Erin. Aku mengacak-acak tasku untuk
mengambil laptop dan modem. Segera kutancapkan modem di bagian kanan laptop.
Tanganku bergerak cepat dan tak sabar untuk mengetik domain youtube di kolom
google chrome yang tersedia di layar.
“www.youtube.com,” kataku dengan mengeja, “keyword-nya apa, Ra?” lanjutku.
Rara segera menarik laptop yang berada di hadapanku. Ia mulai
mengetik keyword dan menunjukkan kepadaku. Enter! Yes. Terlihat deretan
vertikal video-video menggiurkan.
“Wuih! Yang ini, nih! Kayaknya meyakinkan,” kata Rara yakin.
“Ih, lo sok tau, Ra!” Tanpa pikir panjang Rara mengklik video
yang berada di urutan nomor satu.
Walaupun aku tidak begitu mempercayai omongan Rara tentang
tutorial tersebut, tapi tetap saja aku memperhatikan video dengan serius tanpa
memperdulikan teman-teman yang sedari tadi menyapaku. Aku hanya mengangguk dan
tersenyum tanpa melihat mereka. Tapi aku yakin, senyumku kepada mereka sangat
tulus. Ehm.
Di layar laptop
terlihat seorang perempuan cantik. Dia memeragakan bagaimana cara memutihkan
gigi. Dimulai dari memperlihatkan bahan-bahan yang akan ia gunakan. Lalu
mencampurkan semua bahan. Selanjutnya, perempuan cantik itu mulai menyikat gigi
dengan bahan yang sudah tercampur tersebut. Dan, YA! Setelah perempuan itu
menyikat gigi dengan barang percobaannya itu, gigi yang semula bewarna kuning dan
banyak noda pun menjadi putih kinclong. WAH!
“Tuh! Gimana, Ra? Keren, kan?”
“Wah iya, Rin! Sederhana pula! Eh tapi, baking soda kalau
dicampur sama jeruk lemon bukannya berbahaya, ya, Ra? Kebayang deh waktu sikat
gigi pake begituan pasti ngilu banget!”
“Udah, deh, Rin! Lo tuh anak bahasa nggak usah capek-capek
mikirin kayak begituan. Oke?”
Ah, benar juga kata Rara. Aku pun segera menutup laptop dan
menyimpannya kembali ke dalam tas. Hua..
Nggak sabar buat beli jeruk lemon dan baking soda! Nggak sabar lihat gigiku
kembali putih. Nanti kalau gigiku udah putih, bakal aku pamerin ke dokter yang
kemarin deh! Hahahahaha... batinku.
***
Jeruk lemon, garam dan baking soda sekarang sudah berada di tanganku.
Aku mulai meramu ketiga bahan tersebut. Dimulai dengan menyediakan satu sendok
teh baking soda ke dalam mangkuk kecil. Lalu membelah jeruk lemon tersebut
menjadi dua bagian. Satu bagian aku peras untuk dicampurkan ke dalam mangkuk
bersama baking soda dan garam.
Shhh... Suara seperti soda menggelitik tanganku untuk segera
mengaduknya. Ketiga bahan yang awalnya hanya seperti air biasa, kini berubah
menjadi sedikit lebih kental seperti pasta gigi.
Sreak... srek.. srek...
Aku mulai menyikat gigiku dengan ramuan seperti di tutorial
youtube. Huff... Nggak asik, nih, sikat gigi tanpa busa.
“Duh. Sakit juga sikat gigi tanpa busa. Aw! Rasanya asam
banget. Huekk.”
Aku mencoba menyembunyikan sakit di sela-sela gigi. Apalagi
rasa asam jeruk lemon membuatku ingin memuntahkan semua isi perutku. Hiii..
“Tahan, Rin... Tahan. Demi gigi lo bisa putih lagi kayak
dulu,” kataku bermonolog untuk menghibur diri sendiri.
Huekk.. hueeekk...
Setelah menahan sakit dan muntah, akhirnya aku berkumur untuk
menghilangkan rasa asam yang menempel di lidah. Aku segera menuju ke kamar
untuk tidur. Mungkin saja besok pagi setelah bangun tidur gigiku sudah putih
kinclong seperti yang di tutorial video tadi siang. Hehe
***
Dengan setengah mata terbuka, aku menyembulkan kepalaku
keluar jendela. Cahaya matahari begitu terik menyinari pagi ini.
“Astaghfirullah... matahari kenapa udah terik kayak gini?”
Aku melihat jam wekker warna merah di atas tumpukan kertas di
rak buku. What? Jam enam? Aku segera berlari untuk mengambil air wudhu untuk
melaksanakan sholat subuh. Haduuuhh...
telat. Ini pasti gara-gara tadi malam kelamaan meramu, deh! Allah masih
menerima sholatku nggak, ya? Huhu.
Setelah melaksanakan sholat subuh aku segera bergegas untuk
mandi. Lalu membereskan kamar dan pergi sekolah. Ah, lebih baik aku makan di
kantin saja daripada aku telat berangkat sekolah. Huff.. Aku jadi merasa
bersalah dengan Ayah dan Ibu karena tidak bisa sarapan bersama mereka.
***
“Assalamu’alaikum, Erin!” sapa Rara.
“Wa’alaikumsalam, Ra!”
“Weits.. Apa kabar, Rin? Gimana ritual lo tadi malam?”
“Hehe. Sukses, Ra. Yah walaupun harus nahan sakit dan nahan
mual. Hehe. Makasih ya, Ra!”
“Sama-sama. Yaudah kantin, yuk!”
Oh iya, aku belum mengecek gigiku setelah tadi malam
menggunakan ramuan tersebut. Aku hanya menyikat gigiku tanpa melihatnya di
cermin. Wah sekarang pasti gigiku sudah terlihat lebih putih. Jadi pede, deh,
sekarang mau senyum selebar apa.
Kami mengambil sederet makanan yang sudah disediakan di meja
kantin. Aku memilih satu empal daging dan sepiring nasi, sedangkan Rara memilih
ayam goreng.
Nyut... nyut..
“Duh, gigi gue kenapa sakit gini, Ra?”
“Bengkak mungkin, Rin,”
“Nggak, kok. Gusi bagian luar biasa aja. Tapi yang bagian
dalam, nih, sakit nyut-nyut gitu. Ini pasti gara-gara tutorial video kemarin,
Ra!”
“Nggak mungkin! Model turitorialnya baik-baik aja tuh pake
jeruk lemon dan baking soda!”
“Ih, tapi ini sakit banget, Ra!”
“Kok lo jadi nyalahin gue, sih, Rin? Yaudah! Nanti waktu
istirahat kita ke laboratorium gimana? Lo bawa jeruk lemonnya, kan?”
“Iya, tapi gue nggak bawa baking soda dan garam, Ra,”
“Minta kantin kan bisa, Rin!”
Mood pagi ini seketika berubah. Empal yang sudah aku ambil
pun hanya bisa kupandangi dengan menahan denyutan gusi bagian dalam.
***
Pelajaran pertama hari ini adalah Antropologi, pelajaran
favoritku. Biasanya aku tak seperti ini. Jiwa dan pikiranku terpisah. Aku
menahan rasa ngilu di gigiku. Dari kemarin aku tidak bisa berkonsentrasi hanya
karena masalah gigi. Bedanya, kemarin aku memikirkan bagaimana memutihkan gigi,
tapi sekarang aku berpikir hal apa yang membuat gigiku ngilu seperti ini.
“Ih, Ra! Ini kapan istirahatnya? Ngilu banget, nih!”
“Duh, bentar lagi juga istirahat, Rin,”
It’s time to begin to
the first break
Yas! Akhirnya setelah penantian dua jam yang sudah seperti
dua tahun ini berakhir. Aku segera mengambil jeruk lemon dan menuju ke kantin.
Rara yang nampaknya belum membereskan buku-bukunya aku paksa untuk mengikuti
langkahku.
“Bu, minta baking soda dan garam satu sendok boleh?”
“Boleh,”
Huff.. Untung penjaga kantinnya baik, coba kalau tidak, pasti
aku sudah dijadikan bakwan oleh beliau.
Aku menyeret tangan Rara kembali untuk menuju ke laboratorium
IPA. Terlihat di sana beberapa anak yang sedang melakukan praktik kimia.
Kebetulan ada mereka. Jadi aku tidak usah pusing untuk memilih gelas mana yang
aku gunakan untuk meneliti bahan kimia apa saja yang terdapat dalam baking
soda.
“Kebetulan ada kalian. Gue minta tolong dong. Jadi gigi gue
sakit gara-gara kemarin sikat gigi pake baking soda campur jeruk lemon dan
garam. Eh, paginya gigi malah sakit. Padahal niatnya mau mutihin gigi, huhu.”
Jelasku panjang lebar.
“Hahaha... lo aneh banget, sih, Rin!” celetuk Ratih dari
pojokan ruangan, “Nih, ya, biar gue jelasin,” lanjutnya dan mempersilahkan aku
dan Rara duduk di kursi lab, ”Waktu SMP gue pernah meneliti tentang baking soda
dan campuran jeruk. Jadi baking soda itu mengandung acidic dan alkaline dengan
jumlah yang cukup besar. Nah, karena kandungan dalam baking soda itulah yang
membuat gusimu sensitif. Padahal baking soda kalau dibiarkan terus menerus
mengendap, bakal menimbulkan luka bakar di gusimu,”
“Apa hubungannya dengan jeruk, Tih?”
“Nah, jeruk yang lo beli kadar asamnya terlalu tinggi.
Sedangkan gusi lo udah terbuka gara-gara baking soda yang mengendap semalaman
di gigi lo, Rin. Makanya gigi lo terasa ngilu banget.”
Rara yang sedari tadi duduk di sampingku hanya diam dan
berdecak kagum atas penjelasan Ratih.
“Tuh, kan, Ra! Gara-gara lo, sih, gigi gue jadi ngilu kayak
gini!”
“Ye... Makanya jadi orang tuh jangan gampang terpengaruh sama
orang lain. Apalagi kalau orang yang lo ikutin adalah orang yang salah. Haha,”
kata Rara tanpa merasa bersalah.
Aku pun tertawa setelah menyadari kesalahanku. Dengan
mudahnya aku terpengaruh tutorial video yang sudah jelas tidak bisa dibuktikan
kebenarannya. Lagi pula setelah aku kembali ke kelas, aku segera browsing
kembali tentang baking soda dan jeruk lemon. Ya, kedua bahan itu memang
dianjurkan bagi orang yang kecanduan wine dan rokok. Tapi alangkah baiknya niat
menggunakan kedua bahan tersebut dihindari.
“Di dunia ini nggak ada yang instan, Rin. Mie instan aja
masih harus direbus dulu. Hehe,” celetuk Rara dengan polosnya.
“Iya, deh,”
***
0 Komentar