Aku merasakan bahwa sekarang aku
berada di titik tertinggi. Apa yang aku impikan semakin dekat. Boston. Salah
satu kota tertua di Amerika. Aku yakin mimpiku ada di sana. Dan … aku akan
menjemputnya sesuai target yang sudah aku tentukan.
“Nggak sabar pengin ngerasain
indahnya kota Boston. Ikut lomba lari marathon yang terkenal itu, lihat fashion
show di sana. Wah! Pasti di sana keren!”
“Haha lari marathon di bundaran HI
mah ada kali, Von. Lebih sering malah. Kalau masalah fashion, Indonesia Fashion
Week dan Jakarta Fashion Week juga nggak kalah keren, kok!” timpal Fani
kepadaku.
“Tapi, Fan… lomba lari marathon di
Jakarta, tuh, nggak terkenal. IFW? JFW? Paling yang datang cuma artis nasional
aja. Haha,”
Fani pun terdiam. Novel berjudul
“Jakarta Café” membuat Fani kembali terhanyut dalam cerita di dalamnya. Apa?
Jakarta Café? Haha Fani, Fani… Apa, sih, bagusnya baca novel tentang Jakarta?
Apa yang mesti dibicarakan tentang Jakarta? Paling Cuma tempat wisata terkenal
yang mempunyai bau yang menyengat, sampah di mana-mana, dan paling mentok adalah menceritakan orang-orang keras kepala
di dalamnya. Seperti aku. Haha batinku.
Fani sangatlah berbeda denganku.
Ia merasa nyaman dengan kota metropolitan ini. Walaupun Fani sudah merasakan
betapa beratnya tinggal di Jakarta sejak kecil. Walaupun masih ada tempat-tempat
indah dan bergengsi, ia merasa bahwa Jakarta adalah tempat terindah. Berbeda
dari tempat-tempat lain. Aku yang saat itu mendengar omongan Fani pun hanya
tertawa geli.
Berbeda denganku, aku terlalu
‘ngoyo’ dengan semua hal yang berhubungan dengan Amerika, tepatnya Boston. Aku
merasa bahwa Jakarta adalah tempat menyebalkan. Jakarta hanya mampu memberikan
cerita kesedihan bagi siapapun yang menjadi bagiannya. Seperti yang sudah aku
rasakan selama 16 tahun ini. Huff…
***
“She said I think I’ll go to
Boston
I think I’ll start a new life
I think I’ll start it over
Where no one knows my name”
Aku melakukan ritual seperti biasa
sebelum belajar. Ya, mendengarkan lagu Boston yang dipopulerkan oleh penyanyi
legendaris asal San Diego. Seperti yang orang-orang katakan “Biar belajarnya
semangat, coba deh bayangin dulu mimpi-mimpi yang akan kita capai. Upayakan
jika kamu masuk ke dalam apa yang sedang kamu bayangkan. Atau mendengarkan lagu
yang memberimu semangat.” Begitulah kutipan yang aku dapatkan saat menghadiri
training motivasi beberapa bulan yang lalu.
Entah apa yang merasuk pikiranku
memilih Boston sebagai tujuan hidup. Aku melihat sekeliling kamarku yang hampir
penuh dengan bendera Amerika. Di tambah dengan koleksi topi dengan huruf B
besar di bagian depan topi (topi Boston), papercraft patung liberty yang berada di pojokan kamar, dan foto patung
Bill Russell beserta foto-foto keindahan Boston lainnya. Semuanya memenuhi
kamar seorang anak yang lahir dan besar di Jakarta. Ya, kamarku. Untung saja
Ibu tak pernah complain dengan obsesiku ini. Walau terkadang ibu membujukku
untuk tidak lupa asal muasal aku yang tinggal di lingkungan berbudaya timur.
Tentu saja ibu khawatir jika aku meninggalkan sholat dan terlena dengan
kehidupan duniawi saja.
***
“Fan! Aku punya novel tentang
Boston, nih! Tahu, nggak? Aku dapat novel ini susah banget. Aku juga udah buat
review tentang buku ini buat kamu,” Kataku.
“Paling juga isinya tentang
orang-orang Indonesia yang berjuang buat dapetin beasiswa di Boston. Haha,”
“Eh, nggak! Ini novel terjemahan
tauk, Fan! Penulisnya Elisabeth Elo. Wuuu.. Mau, nggak?”
“Haha aku nggak tertarik tuh. Aku
lebih tertarik baca ini,” timpal Fani sambil menunjukkan novel yang sama,
Jakarta Café.
Aku dan Fani pun mulai sibuk
dengan novel masing-masing. Mood-ku mulai hilang seiring Fani menolak membaca
review novel Boston yang sudah aku buat. Asal dia tahu, aku membuat review
tersebut hingga tengah malam. Aku membuat review tersebut agar Fani tidak lagi
membaca novel-novel tentang Jakarta. Bukan karena apa. Aku hanya ingin mengajak
Fani melihat dunia luar yang indah. Lebih tepatnya Boston.
Aku kehilangan selera membacaku
pagi ini. Aku pun memilih untuk menonton film The Amazing Spiderman 2 yang
sudah aku download secara illegal. Ya, aku telah melanggar hak cipta orang
lain. Kalau saja aku tinggal di Singapura, pasti aku sudah masuk bui.
“Vona, kenapa, sih, nggak film
Indonesia aja? Film Indonesia juga nggak kalah keren kok, Von!” sambar Fani
tiba-tiba.
“Contohnya?”
“Ada 3600 Detik, Crush, emm.. apa
lagi, ya?”
“Hahahaha… Seleramu gitu banget,
Fan. Nggak asik. Ada yang kayak film Hollywood nggak?”
“Ada, kok! The Raid 2!”
“Hahaha The Raid? Cuma itu doang,
Fan?”
“Ini, nih, salah satu dampak
adanya generasi instan,”
“Maksud kamu,
Aku?”
“Iya. Kamu. Kamu generasi instan,
Von,”
“Gimana bisa? Aku nggak pernah
nyontek waktu ulangan, Fan! Aku suka proses, aku selalu menikmati proses untuk
menjemput mimpi-mimpiku. Aku harus menabung berbulan-bulan untuk membeli novel
Boston tanpa meminta uang ke Ayah atau Ibu. Masih bisa dibilang instan?”
“Emang generasi instan cuma buat
orang-orang seperti itu aja, Von?! Kamu salah! Kamu generasi instan. Maunya
menikmati trend ini itu, lebih suka produk luar daripada produk dalam negeri.
Hargain, kek, para artistic dan seniman dalam negeri!”
“Tapi, Fan… film Indonesia, tuh,
nggak ada yang bagus! Lempeng semua! Plagiat,”
“Kalau gitu kenapa nggak kamu aja
yang memperbaiki dan memproduksi film-film yang berkualitas di negeri sendiri,
Von?! Jangan cuma mengkritik dan komentar doang!”
“Ya tapi aku kan nggak ahli dalam
bidang perfilman, Fan!”
“Makanya jadi orang jangan cuma
sebagai konsumen aja! Apalagi sebagai konsumen produk luar negeri. Belajar
menjadi produsen yang lebih produktif! Mau jadi apa Indonesia kalau generasi
muda-nya Cuma bisa menikmati produk dari luar? Bobrok! Kamu nggak takut
10 tahun lagi Indonesia diperbudak budaya barat? Kamu nggak cinta Indonesia?
Kamu udah tinggal 16 tahun di Jakarta, Indonesia, emang apa yang udah kamu
perbuat untuk negerimu sendiri, Von? Apa? Sadar nggak, sih, Von, kalau tanah
yang kamu injak sekarang ini ada di negara bernama Indonesia?” Tanya Fani
dengan suara agak ditekan.
Aku merasa tercekat oleh apa yang
baru saja dikatakan oleh Fani. Ya. Apa yang telah aku perbuat untuk Indonesia?
Selama ini aku lebih memikirkan negeri orang asing. Orang-orang yang jauh dari
jangkauan mataku. Jauh dari jangkauan tanganku. Negeri orang asing yang belum
pernah memberiku apa-apa. Justru Indonesia yang telah memberiku semuanya. Tapi
belum pernah sekalipun aku berbuat untuk negeriku sendiri.
“Kenapa kamu diam, Von?”
“Aku … emm…” belum selesai aku
mengatakan kalau aku cinta … ehm… Indonesia. Lidahku menahan semua yang ingin
aku katakan. Seolah-olah lidahku tahu kalau aku akan berbohong.
“Kita boleh bermimpi tinggal di
negera orang lain, Von.. Tapi kita nggak boleh mengkhianati negeri kita
sendiri. Negeri yang telah memberi kita alam yang indah, budaya, dan semuanya.
Kamu harus bersyukur. Kapan lagi kita bisa tinggal di negera premis seperti
Indonesia? Kita, tuh, beruntung tinggal di Indonesia, Von! Kamu harus ingat
itu!” kata Fani yang berusaha meyakinkanku.
“Iya, Fan. Aku terlalu sibuk
dengan mimpi-mimpiku,” aku membayangkan semua hal yang ada di Indonesia, negeri
yang telah membesarkanku selama ini. Hatiku lirih, “Aku emang nggak tahu terima
kasih, Fan. Aku jahat,” lanjutku.
Apa yang dikatakan Fani benar.
Fani telah membuatku mengangguk secara perlahan. Aku mulai mengumpulkan dan
merefresh ulang tentang niatku. Niat yang selama ini salah. Niat yang selama
ini hanya aku peruntukkan untuk diriku sendiri. Untuk membanggakan diriku
sendiri. Kini aku bertekad jika suatu saat nanti aku bisa memenangkan lomba
lari marathon di Boston, aku janji itu semua untuk negeriku. Negeri
Indonesia. – Ms.
Chance
0 Komentar