![]() |
sertifikat apresiasi 30 besar |
Wilayah Indonesia terdiri dari ±17.504 pulau. Untuk itu, persatuan dan kesatuan menjadi salah satu cerminan
masyarakat Indonesia yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu
berbeda-beda tetapi satu. Semboyan tersebut berarti bahwa masyarakat Indonesia
harus siap untuk mengakui dan menerima keragaman suku, bahasa, agama, dan
lain-lain. Atas keberagaman yang dimiliki Indonesia inilah yang harus disikapi
dengan bijak agar tidak timbul konflik satu sama lain. Dalam hal ini, maka
setiap masyarakat Indonesia harus mampu menjaga keberagaman tersebut sesuai
dengan semangat semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Seperti
yang kita ketahui, salah satu keragaman yang dimiliki Indonesia adalah adanya
enam agama yang diakui, di antaranya: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,
Budha, dan Kong Hu Cu. Adanya ragam agama tersebut sering kali dijadikan
kambing hitam dalam kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan istilah konflik
agama. Hal ini disebabkan karena rasa fanatisme sehingga menimbulkan pandangan
berbeda terhadap kelompok lain yang berakhir perpecahan. Padahal, agama secara normatif
menurut para pakar agama yang terdapat dalam Ensiklopedia Islam, menyatakan
bahwa agama merupakan way of life
bagi umat manusia agar hidup teratur, saling menghargai, dan menciptakan
keharmonisan serta keseimbangan.
Kasus
konflik keagamaan saat ini bahkan semakin banyak terjadi, baik yang berindikasi
keagamaan maupun kepercayaan. Beberapa konflik pertikaian antaragama terbesar,
di antaranya terjadi di Ambon antara Islam dengan Kristen, Poso antara Islam dengan
Kristen, dan Tanjung Balai yang berupa pembakaran belasan rumah ibadah dan
lembaga sosial. Selain itu, setidaknya pada tahun 2008 terdapat 12 kasus
berindikasi kepercayaan di seputar keberadaan rumah ibadah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman
masyarakat mengenai kerukunan antarumat beragama masih sangat minim. Maka
dari itu, perlu pemahaman mengenai kerukunan beragama yang berasal dari
cita-cita Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Agama
dalam falsafah negara Indonesia telah dipaparkan secara jelas dalam Pancasila
pada sila pertama yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang mana dalam hal ini
Indonesia berdasarkan atas asas Ketuhanan Yang Esa atau monotheisme. Sejarah
Pancasila sila ke-1 tidak terlepas dari pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni
1945. Dalam pidato tersebut Ir. Soekarno mengatakan, “Prinsip
yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-tuhan, Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada “egoisme agama.” Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang
ber-Tuhan.” (MK,
2010: 89)
Penggalan pidato Ir. Soekarno di atas memiliki makna secara
sosiologis bahwa Indonesia menganut prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap
individu berhak mempercayai adanya satu Tuhan sesuai dengan kepercayaan
masing-masing, misalnya: bagi yang beragama Islam berhak mempercayai Allah SWT
berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW, bagi yang Kristen berhak menyembah
Tuhan berdasarkan petunjuk Isa al-Masih, sedangkan bagi yang Budha menjalankan
ibadah sesuai dengan kitab yang dianutnya. Dari sekian banyaknya kepercayaan
itulah yang sering menimbulkan perbedaan pandangan dalam kehidupan masyarakat. Untuk
itu, dalam menjalankan keberagaman di Indonesia perlu menghilangkan egoisme
agama dengan cara menghilangkan fanatisme terhadap golongan-golongan tertentu.
Pidato Ir. Soekarno kemudian diperkuat oleh pidato Moh.
Hatta yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Moh. Hatta menyampaikan
bahwa Pancasila
mengandung dua lapis fundamen falsafah yaitu fundamen moral atau etik agama
yang terdapat dalam sila ke-1 dan fundamen politik yang terdapat pada sila ke-2
hingga sila ke-5. Menurut Moh. Hatta, bahwa sila ke-1 bukan hanya untuk saling
menghargai, melainkan juga sebagai pegangan bagi sila-sila yang lain. Maksudnya,
bahwa sila ke-1 juga dapat dijadikan sebagai pegangan dalam kehidupan
pemerintahan dan kenegaraan.
Mengenai
jaminan dalam beragama juga telah dijelaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi:
1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Bunyi
Pasal 29 ayat (1) dan (2) sejalan dengan penyataan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta yang
kemudian dituangkan ke dalam Pancasila sila ke-1. Selain Indonesia mengakui
adanya satu Tuhan, dalam konstitusi Indonesia juga telah disebutkan mengenai
jaminan bagi pemeluk agama. Jaminan tersebut dapat berupa perlindungan,
pemberian sarana dan prasarana peribadatan, dan lain-lain. Hal tersebut
bertujuan agar terwujudnya kerukunan antarumat beragama sehingga terjadinya
keharmonisan dalam kehidupan masyarakat saat ini maupun yang akan datang.
Oleh
karena itu, Pancasila sebagai filsafat juga berarti bahwa
pancasila mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi
substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Satu dari lima sila dalam
Pancasila terdapat prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga telah menjadi
dasar negara. Hal tersebut tentu saja bukan hanya sekadar pandangan, melainkan
Pancasila sila ke-1 hingga ke-5 juga merupakan bentuk cita-cita Indonesia yang
perlu diwujudkan. Begitupun dengan kerukunan beragama yang dapat diwujudkan
dengan memegang teguh prinsip Pancasila.
1 Komentar
weittsss haha.. mau dong mas adsense-nya wkwk
BalasHapus