Kondisi Politik dan Paradigma Politik Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin - Makalah

MAKALAH

KONDISI POLITIK DAN PARADIGMA POLITIK ISLAM PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Konstitusi

 Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Kamsi, M.A.


 

Oleh:

Izzatul Ulya

(19203012042)

 

 

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM ISLAM KONSENTRASI HUKUM TATA NEGARA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2020

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Dalam histori Islam, diskursus pencarian konsep tentang hubungan agama dengan negara merupakan  salah  satu  isu  pokok  dalam sejarah  politik Islam. Gagasan konseptual pemikir muslim telah menggambarkan ihtiar pencarian landasan intelektual bagi fungsi   dan peranan  negara  atau  pemerintah  sebagai faktor determinan dalam upaya memenuhi kepentingan dan kesejahteraan   masyarakat. Pemikiran politik Islâm  merupakan  hasil  dari  perumusan ulama  melalui  kerja  intelektual  dalam rangka  menggali  dan  menemukan  nilai-nilai  Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berkembang. Hubungan agama dan politik dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena hubungan ketegangan dan pertentangan. Dalam hal ini, terdapat tiga paradigma pola relasi antara agama dan negara, di antaranya;[1] paradigmaa pertama, mengajukan konsep kesatuan antara  agama dan negara. Hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan antara satu dengan  lainya  karena  terdapat wilayah agama dalam dan politik (integrated);  paradigma kedua, Paradigmaa   kedua mengajukan konsep  pemisahan  hubungan  agama  dan negara Agama merupakan urusan privat; paradigma ketiga, Paradigmaa ketiga adalah paradigmaa   simbiotik-mutualistik   yang menyatakan  bahwa  agama  dan  negara memiliki hubungan yang saling menguntungkan.

Sepak terjang politik Islam di Indonesia sudah ada sejak awal berdirinya partai Masyumi  sebagai  upaya  dan  usaha  untuk  menjadikan  bangsa  Indonesia  sebagai bangsa  atau  Negara  Islam,  hingga  akhirnya  Masyumi  bubar  tanpa  ada  hasil  untuk merubah sistem pemerintahan walaupun di Indonesia umat Islam merupakan masyarakat mayoritas yang memiliki hak dalam pemerintahan. Hal ini berkaitan erat dengan demokrasi terpimpin.

Sejarah demokrasi Terpimpin bermula ketika kehidupan sosial politik di Indonesia ketika era Demokrasi Liberal (1950 - 1959) belum mencapai kestabilan nasional. Kabinet yang sering mengalami perubahan membuat program kerja kabinet tidak dijalankan dengan baik. Partai-partai politik bersaing, saling menjatuhkan, dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok. Dari sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik. Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno mengubur partai-partai politik era Demokrasi Liberal, setidaknya menyederhanakan partai-partai politik dan membentuk cabinet yang berintikan 4 partai yang menang pada pemilihan umum 1955.[2]

Lebih jauh Presiden juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957 yang merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, pertama, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang. Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.

Pada akhirnya gagasan demokrasi terpimpin Soekarno mendapat dukungan dari lembaga-lembaga negara yang telah diatur kekuasaan Soekarno. Pada tahun 1965 MPRS mengeluarkan Ketetapan No. VIII/MPRS/1965 yang berisi pedoman pelaksanaan demokrasi terpimpin. Ketetapan ini memuat isi yang menekankan proses pengambilan keputusan yang harus dilakukan dengan cara musyawarah mufakat, tetapi jika musyawarah mufakat tidak dapat dicapai, maka keputusan diberikan kepada pimpinan. Mekanisme yang demikianlah yang justru memberikan peluang pada Soekarno untuk menguasai setiap pengambilan keputusan.

Garis politik Soekarno dapat memperlihatkan stabilitas terutama setelah dilakukannya penyederhanaan sistem kepartaian dan dibentuknya Front Nasional. Tetapi stabilitas yang dibangun waktu itu merupakan stabilias semu, sebab seperti ternyata kemudian ia tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses penggantian kepemimpinan. Stabilitas yang ada waktu itu hanya mengandalkan pada adanya tokoh politik yang mengelola Front Nasional yang seolah-olah mewakili sistem partai tunggal yang tidak terlihat.[3] Melalui satu partai ini dibina suatu gaya yang berorrientasi pada nilai secara mutlak dengan konsekuensi bahwa interpretasi dari pemerintah dianggap benar tanpa ada tawaran dan tidak mengenal adanya alternative lain.

Selain itu pada era demokrasi terpimpin berlangsung, pegulatan politik Islam dianggap belum nampak.[4] Pada era ini kekuatan politik Umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno, yakni memberikan kesempatan lebih luas kepada PKI untuk bergerak dan menguasai politik nasional serta kebijakan membubarkan Masyumi yang dianggap musuh revolusi. Adanya perbedaan ini menyebabkan kristalisasi dalam tubuh Islam serta berkurangnya kontribusi politik Islam pada era ini. Hal itu juga disebabkan karena kebijakan Soekarno yang menginginkan koalisi antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).

 

 

 

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

a.       bagaimana keadaan politik pada masa orde lama era Demokrasi Terpimpin?

b.      bagaimana hubungan agama dan negara pada masa orde lama era Demokrasi terpimpin?

C.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis sampaikan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

a.       untuk mengetahui politik pada masa orde lama era Demokrasi Terpimpin

b.      untuk  hubungan agama dan negara pada masa orde lama era Demokrasi Terpimpin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Politik Era Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya demokrasi liberal menandai bermulanya era demokrasi terpimpin. Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin bertolak belakang dengan yang terjadi pada era demokrasi parlementer atau liberal. Sistem politik yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin muncul secara resmi setelah konstituante dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun UUD yang tetap, serta dibubarkannya Dekrit Presiden  tanggal 5 Juli 1959.

Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistem yang berlaku sebelumnya, ketika politik sangat ditentukan oleh partai-partai melalui sistem free-fight. Proses pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat gotong royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai  penguasa yang otoriter. Berdasarkan itu, terdapat dua kekuatan lain yang mengokohkan kekuatan politiknya, di antaranya Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga pada masa itu terdapat tiga kekuatan, yakni Soekarno, AD, dan PKI. Sedangkan partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal menjadi lemah, kecuali PKI yang justru mampu memperluas pengaruhnya yang berlindung di bawah Soekarno; sementara AD memperluas peran dan kekuasaan politiknya.[5]

Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun secara lebih rinci pengertian Demokrasi Terpimpin diambil dari pidato Soekarno dalam rangka HUT kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1959 yang pokok-pokoknya sebagai berikut; pertama, tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara; kedua, tiap orang mendapat kehidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Sejarah membuktikan apa yang dikhawatirkan para penentang demokrasi terpimpin, dalam praktiknya Soekarno melaksanakan demokrasi terpimpin jauh dari yang diteorikan. Pada era ini justru dianggap sebagai era yang tidak demokratis yang justru mengarah sistem otoriter. Selain itu, seperti yang terdapat dalam bab sebelumnya, bahwa selain Soekarno juga terdapat dua kekuatan lain yakni AD dan PKI.

Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya. TNI, yang sejak kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik. Dihidupkannya UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya. Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.

Selain itu, AD mendapatkan legitimasinya untuk ambil bagian dalam dunia politik justru melalui konsepsi tentang gagasan perwakilan fungsional. Melalui perwakilan fungsional inilah militer masuk dalam Dewan Nasional dan memanfaatkan dewan tersebut untuk menguatkan legitimasi atas kehadirannya di dunia politik. Masuknya militer inilah yang menjadi penyebab melemahnya partai-partai, kecuali PKI.

Soekarno sendiri untuk basis legitimasinya, Soekarno menginginkan partai-partai itu tidak mati sama sekali karena masih membutuhkan dukungan walaupun dari partai lemah melalui Dront Naional, MPR, DPR, dan DPA yang dianggap sebagai basis legitimasi. Soekarno membiarkan pengurangan aktivitas parpol oleh militer dengan tetap menjaga agar tidak mati.[6] Untuk itu militer melakukan berbagai tindakan pelemahan parpol dengan eksistensinya di posisi pinggiran tanpa peran politik yang berarti kecuali memberi dukungan terhadap Soekarno.

Permasalahan di atas menjadikan Soekarno memaksa pembubaran Partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Partai Masyumi dianggap oposisi dan menentang revolusi yang menurut Soekarno belum selesai. Masyumi tidak memberikan dukungan bagi Soekarno yang pada akhirnya dibubarkan dengan cara tidak adil. Soekarno juga menuduh Masyumi sebagai dalang DI/TII. Apalagi daerah-daerah yang memberontak adalah kantong-kantong Masyumi. Ditambah lagi dengan tokoh Masyumi seperti Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap yang ikut dalam pemberontakan.[7] Padahal waktu itu mereka tidak lagi menjadi pemimpin formal Masyumi. Sehingga pemberontakan yang dituduhkan kepada Masyumi tidak didukung oleh dokumen autentik.[8]

Partai  Masyumi  menghadapi  Keputusan Presiden  No.200  tahun  1960  dengan  dua  cara. Pertama,  Pimpinan  Partai  Masyumi  menyatakan Masyumi  bubar, melalui  suratnya No. 1801  BNI-25/60 tanggal 13 September 1960.    Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai  terlarang,  dan  korban yang tidak  perlu,  baik  terhadap  anggota  Masyumi  dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Soekarno di     pengadilan. Usaha Masyumi mencari  keadilan di pengadilan menemui jalan   buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Soekarno terhadap pengadilan.[9]

Sebaliknya, tiga partai Islam lain yakni NU, PSII, dan Perti berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno. Tokoh-tokoh NU yang ikut ambil dalam bagian demokrasi ini adalah KH. Idam Khalid, K.H. Achmad Sjaikhu, dan K.H. Saifuddin Zuhri. Adapun K.H. Zuhri merupakan tokoh yang bertahan menjadi Menteri Agama pada era demokrasi terpimpin. Untuk mendukung pandangan dan pendiriannya, NU menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh.[10] NU menggunakan kaidah seperti kaidah lima, yakni tentang niat, keyakinan yang tidak dapat dihapus dengan keraguan, kesukaran menarik kemudahan, kemudharatan harus dileyapkan, dan adat kebiasaan ditetapkan sebagai huku. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan berbagai hukum dalam Islam di antara kompleksnya masalah hukum mengenai kenegaraan.

Dalam demokrasi terpimpin terdapat aliansi kompetitif antara Soekarno dan pimpinan AD. AD muncul diwujudkan dalam struktur pemerintahan daerah ketika masa keadaan darurat sejak pertengahan 1950-an. Rentang waktu inilah dipergunakan AD untuk memperkokoh basis politiknya. Selain itu PKI muncul yang dulunya sebagai partai oposan masuk ke dalam eksekutif dan merupakan salah satu aliansi yang diperlukan oleh Soekarno.[11]

PKI sendiri berperan langsung di bawah Soekarno. Hal ini dikarenakan Aidit membangun kembali partai ini melalui jalur damai, yakni bekerja berdasarkan sistem demokrasi liberal dan turut serta dalam pemilu dan berhasil membangun basis massa pendukung yang sangat kuat. Kemampuan pipmpinan partai dan kecondongan Soekarno inilah yang membuat posisi PKI semakin kuat.[12] Factor inilah yang membuat PKI menjadi organisasi paling efektif di samping AD. Jadi pada demokrasi terpimpin, ketiga kekuatan politik ini saling memanfaatkan. Soekarno dibutuhkan PKI untuk menjadi pelindung melawan AD, sedangkan AD membutuhkan Soekarno untuk memberi legitimasi untuk keterlibatannya dalam politik. Sedangkan Soekarno membutuhkan PKI dan AD karena AD dihadapkan dengan PKI untuk menghambat partai agar tidak terlalu kuat. Sedangkan PKI diharapkan dapat menggerakkan dukungan rakyat dan mendapatkan massa yang besar.[13]

Di luar kekuatan hubungan Soekarno dengan AD dan PKI, hal ini berdampak terhadap NU yang sedang terlibat aktif dan ingin mewarnai peta pencaturan politik yang berkembang ketika itu. Namun, NU menghadapi kesulitan. Di satu pihak, NU sudah menyatakan loyal dengan pemerintahan Soekarno. Di sisi lain, ia menolak adanya PKI.[14] Dengan itu, menolak PKI berarti menolak Soekarno yang tentu akan menjerumuskan NU sendiri ke dalam kehancuran. Bahkan NU hanya dianggap sebagai alat politik Soekarno dan kolot sehingga mudah dikuasai.

Namun, hubungan NU dan Soekarno sudah terjalin dengan kuat. Bahkan partai NU bersama partai Islam lainnya yang mendukung demokrasi terpimpin serta pihak nasionalis dan komunis pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat presiden Soekarno seumur hidup. Dalam hal ini, NU menggunakan paradigmaa politik Sunni klasik untuk mempertahankan pendirian mereka. Bisa dilihat bahwa NU ingin memberi simbol-simbol keagamaan dan kepemimpinan Soekarno, yakni mengintegrasikan antara Islam dan politik oleh NU. Mereka menganggap bahwa kekuasaan Soekarno adalah maksum. Karena sifat inilah yang membuat NU terjungkal dari sejarah politik Indonesia modern bersamaan dengan kegagalan pemberontakan PKI. Perjuangan politik Islam di bumi Indonesia pun mengalami kegagalan kembali.

                Nasakom

Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah dipikirkan oleh Soekarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Soekarno menulis:

“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Soekarno.

 

“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.

 

Tepatnya 1956 atau 11 tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mengumandangkan kembali gagasan yang pernah dilontarkannya pada 1926 itu. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia. Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Soekarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.[15]

Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan. “Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” sebutnya.

Maka, pada Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.

Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh Mohammad Hatta, sang wakil presiden. Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu. Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut, Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Soekarno semakin otoriter.

Soekarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, sang penguasa berucap lantang: “Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Soekarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.

Soekarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”

Pada  perkembangannya  proses  penyisipan  misi  Nasakom  ini  tidak  berjalan seperti apa  yang diharapkan oleh Presiden Soekarno karena banyak pihak khususnya pihak Angkatan Darat yang menentang disebarkannya konsep Nasakom. Penentangan ini  lebih  ditujukan  pada  tidak  sesuainya  konsep  Nasionalisme  dan  konsep  Agama disetarakan  bahkan  disatukan  dengan  konsep  komunis.  Selain  itu,  pihak  Angkatan Darat  sendiri  telah  sejak  lama  bersebrangan  dengan  PKI.  Oleh  karena  itu  sejak dikeluarkannya konsep  Nasakom banyak pihak  Angkatan Darat  yang menilai bahwa Presiden  Soekarno  memiliki  haluan  komunis  dalam  pemikirannya.  Sehingga dalam perkembangannya  pihak  TNI-AD  terbagi  kedalam  dua  kubu  yaitu  kubu  yang  pro terhadap  Presiden  Soekarno  dan  pihak  yang  kontra  terhadap  Presiden  Soekarno. Namun  disisi  lain,  dalam  menjalankan  misinya  pihak  TNI-AD  bersikap  untuk  lebih netral yaitu sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pengatur keamanan negara.[16]

Penyisipan   misi   Nasakom   dalam   tubuh   Angkatan   Darat   ini   ternyata menimbulkan  hubungan  yang  tidak  baik  antara  Angkatan  Darat  dengan  PKI  pada masa  ini  serta  antara  Angkatan  Darat  dengan  Presiden  Soekarno.  Hubungan  yang tidak  baik  ini  menimbulkan  kekuatan  politik  yang  ingin  ditunjukan  oleh  setiap kepentingan  sehingga  terbentuklah  tiga  kekuatan  politik  besar  yang  saling  bersaing pada  masa  Demokrasi  Terpimpin  yaitu  antara  Presiden  Soekarno,  TNI-AD  dan  PKI. Pertentangan  ini  berpuncak  pada  peristiwa  G30S/PKI  tahun 1965  dan  sampai  pada munculnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 yang dianggap sebagai sebuah kudeta pemerintahan  Presiden  Soekarno  oleh  Mayor  Jenderal  Soeharto,  seorang  Jenderal yang  baru  terdengar  namanya  pada  peristiwa  ini. akhir  dari  peristiwa  ini  mengakhiri pula  kepercayaan  masyarakat  terhadap  pemerintahan  Presiden  Soekarno.  Sehingga pada   akhirnya   berdasarkan   Tap   MPRS   No.   XXXIII/MPRS/1967   pemerintahan Presiden  Soekarno  berakhir  dan  mulailah  pemerintahan  baru  dibawah  kekuasaan Mayor Jenderal Soeharto.

 

B.     Hubungan Islam dan Negara Era Demokrasi Terpimpin

Sejak diterapkannya Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno, Indonesia mengalami masa yang disebut Orde Lama. Walaupun mendapatkan tantangan dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Ketua Masyumi waktu itu (Mohammad    Natsir) yang menganggapnya  sebagai  sistem  diktator. Pada  periode  ini,  secara  politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, tapi  berpecah-pecah, berhadapan dengan sistem yang diciptakan  Soekarno.  Persoalan  pilihan  untuk  menduukung  atau  tidak  mendukung dalam  suatu  sistem  kekuasaan  telah  membelah  umat  ini  menjadi  dua  kubu  yang  saling berhadapan, yaitu   kubu   Masyumi dengan sikapnya yang keras menentang ide Demokrasi Terpimpin, sementara kubu NU, PSII, dan Perti  yang mendukung dan turut di dalamnya.[17]

Demokrasi   Terpimpin   telah   berdampak   pada Masyumi, hubungan Masyumi yang tidak harmonis dengan Soekarno, dan PKI. Baik dalam   persidangan Konsituante tentang UUD  1945, dan kemudian kecurigaan Soekarno terhadap Islam yang berlebihan telah membentuk sikap kurang  senang Soekarno  kepada  Masyumi. Apalagi  sebagian  bekas  pengurus pusat Masyumi terlibat dalam PRRI. Hal terlihat dari pendapat Moh. Natsir (Masyumi) yang  mengatakan tidak pernah percaya kepada janji Soekarno. Natsir   mangantisipasi. "....bahwa segala-galanya  mungkin  ada,  kecuali  kebebasan  jiwa..."  Dalam  istilah  biasa yang semacam itu kita namakan satu diktatur sewenang-wenang. Kritik Natsir adalah  kritik  dari  orang  yang  memilih  berada  diluar  diluar  sistem,  bahkan menentangnya.   Namun   demikian,   NU   lebih   memilih   berkoalisi   dengan Soekarno  dengan  menerima  Nasakom.[18]

Obsesi untuk menyatukan berbagai kelompok tersebut dalam Nasakom mungkin merupakan ide yang brilian, tapi ada juga yang menentang, misalnya Masyumi. Konsep nasakomnya Soekarno mungkin bagus dan fungsional dalam tataran konsep, tapi dalam praktik tak semudah yang diduga. Ada kendala-kendala lapangan yang tak mudah diatasi. Tokoh-tokoh Masyumi sangat keras dalam menentang ide Nasakom Soekarno, seperti Syafruddin Prawiranegara dan khususnya Mohammad Natsir. Natsir mempunyai prinsip bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masa-lah-masalah sosio-politik umat, di antara prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati, menurut Natsir, adalah prinsip syura. Natsir memang menghendaki negara yang pada prinsip-nya diatur oleh hukum-hukum Allah atau syariat Islam, namun tidak menjelaskan secara meyakinkan operasionalnya. Puncak pertentangan antara Soekarno yang nasionalis-sekuler dengan Natsir, yaitu dengan dibubarkannya Masyumi dan memenjarakan Natsir termasuk juga Prawiranegara pada tahun 1960. Perlu dicatat pula, pada masa orde lama ada gerakan yang ingin mendirikan negara Islam secara otentik, yaitu gerakan Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo yang berlangsung selama masa 1948 sampai 1962. Dalam tahun 1950, gerakan ini mendapat dukungan dari Jawa maupun luar Jawa. Dari luar Jawa, dukungan datang dari Aceh dan Sulawesi. Tahun 1951 dari Jawa, dukungan datang dari batalion 426 yang mempunyai pengalaman bertikai dengan lasykar komunis di masa perang gerilya, serta didukung pula oleh segolongan masyarakat di daerah selatan Jawa Tengah.[19]

Setelah  Masyumi  dibubarkan  hanya  tinggal  satu  partai  besar  Islam yaitu  NU dan  dua  partai  ukuran  sedang  yaitu  PSII  dan  Perti.  Ketiganya  bekerjasama dengan Soekarno semasa demokrasi terpimpin dalam satu ideologi NASAKOM (Nasionalis,  Agama,  dan  Komunis).  Ketiga  partai  Islam  itu  hams  menghadapi PKI   yang   makin   lama   makin   agresif   memusuhi   Islam   serta   PNI   (Ali Sastroamijoyo)    yang    dekat    PKI.    Kepentingan    umat    Islam    tentu    tidak tersalurkan sepenuhnya pada ketiga partai politik Islam tersebut. Banyak kritik terhadap mereka. Namun, solidaritas partai-partai Islam itu (terutama NU dan PSII)  ditunjukkan  dalam  membela  HMI  ketika  organisasi  ini  diganyang  terus hendak dihancurkan oleh PKI dan para sekutunya.

Namun, hubungan NU dan Soekarno sudah terjalin dengan kuat. Bahkan partai NU bersama partai Islam lainnya yang mendukung demokrasi terpimpin serta pihak nasionalis dan komunis pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat presiden Soekarno seumur hidup. Dalam hal ini, NU menggunakan paradigmaa politik Sunni klasik untuk mempertahankan pendirian mereka. Bisa dilihat bahwa NU ingin memberi simbol-simbol keagamaan dan kepemimpinan Soekarno, yakni mengintegrasikan antara Islam dan politik oleh NU. Mereka menganggap bahwa kekuasaan Soekarno adalah maksum. Karena sifat inilah yang membuat NU terjungkal dari sejarah politik Indonesia modern bersamaan dengan kegagalan pemberontakan PKI. Perjuangan politik Islam di bumi Indonesia pun mengalami kegagalan kembali.

Jadi pada dasarnya pada era demokrasi terpimpin ini secara tidak langsung menggunakan paradigmaa sekularistik di mana negara dipisahkan dengan urusan agama. Sehingga, praktis partai-partai Islam dalam masa Demokrasi Terpimpin tidak memiliki daya tawar yang tinggi terhadap Presiden. Karena setelah itu kekuatan politik yang dominan adalah Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Ketika kekuatan politik inilah yang saling bersaing untuk mendominasi dalam pembuatan kebijakan nasional. Setelah kekuatan Islam dimandulkan, maka Soekarno dan Angkatan Darat bekerjasama dalam membentuk tatanan baru yang lebih cocok dengan kebutuhan dan mengakui konstelasi kekuasaan yang ada. Orang bisa mengemukakan argument bahwa demokrasi terpimpin merupakan suatu sistem politik yang sehat selama Soekarno dan Nasution tetap saling mengakui fungsi masing-masing dan saling menghormati prerogative masing-masing

Dari kedua partai besar yang berpengaruh sebelumnya, sayangnya Masyumi dibubarkan karena dianggap penghambat revolusi. Gagasannya mengenai hubungan agama dan negara harus integral, justru posisi Masyumi kala itu dilemahkan. Begitupun dengan NU yang kala itu sedang menjalin kedekatan dengan Soekarno, dengan gagasannya mengenai paradigmaa simbiotik, di mana agama dan negara saling membutuhkan, justru posisi NU juga dilemahkan sehingga terjungkan oleh sejarah politik Indonesia.


 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN

1.      Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistem yang berlaku sebelumnya, ketika politik sangat ditentukan oleh partai-partai melalui sistem free-fight. Proses pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat gotong royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai  penguasa yang otoriter.

2.      Pada era Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik sangat lemah. Sehingga memunculkan bahwa pada era ini merupakan pemisahan antara agama dan negara. Begitupun dengan Masyumi, gagasannya mengenai hubungan agama dan negara harus integral, justru posisi Masyumi kala itu dilemahkan. Begitupun dengan NU yang kala itu sedang menjalin kedekatan dengan Soekarno, dengan gagasannya mengenai paradigmaa simbiotik, di mana agama dan negara saling membutuhkan, justru posisi NU juga dilemahkan sehingga terjungkan oleh sejarah politik Indonesia.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

BUKU-BUKU

Abdurakhman dkk. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015

Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 1999

Iqbal, Muhammad dan Drs. H. Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  2010

Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971. Jakarta: LP3ES, 1989

MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Depok: RajaGrafindo Persada, Cet ke-6, 2014

Syafi’i, Ahmad. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985

 

JURNAL DAN SKRIPSI

Bathoro, Alim. Redupnya Peran Politik Islam di Masa Demokrasi Terpimpin (Studi Kasus Pembubaran Masyumi Oleh Presiden Soekarno. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 2 No. 02 Februari 2018

Effendi, M. Rahmat. Pemikiran Politik Islam di Indonesia: Antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru. Jurnal Mimbar Volume XIX No. 1 Januari – Maret 2003 : 89 – 105

Hermayati, Nur Fitri. Upaya Nasakomisasi TNI-AD dan Dampaknya Pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960-1967. Universitas Pendidikan Indonesia: Skripsi, 2012

Rahman, Abdul. Masyumi dalam Kontestasi Politik Orde Lama. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Ridwan, Paradigma Relasi Agama dan Negara dalam Islam, Jurnal Volksgeist Vol. 1 No. 2 Desember 2018

Wahid, M. Abduh. Pergumulan Islam dan Politik di Indonesia. Jurnal Politik ProfetikVolume 7, No. 1Tahun 2019

Zaprulkhan, Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia. Jurnal Review Politik Volume 03, Nomor 02, Desember 2013.

WEBSITE

Raditya, Iswara N. Sejarah Nasakom: Upaya Soekarno Menyatukan Tiga Kekuatan Politik, https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-Soekarno-menyatukan-tiga-kekuatan-politik-dnlt



[1] Ridwan, Paradigma Relasi Agama dan Negara dalam Islam, Jurnal Volksgeist Vol. 1 No. 2 Desember 2018, hlm. 180

[2] Abdurakhman dkk, Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015) h. 82

[3] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Depok: RajaGrafindo Persada, Cet ke-6 2014), h. 142

[4] M. Rahmat Effendi, Pemikiran Politik Islam di Indonesia: Antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru), Jurnal Mimbar Volume XIX No. 1 Januari – Maret 2003 : 89 – 105), h. 90

[5] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,  h. 130

[6] Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), H. 43

[7] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  2010), h. 82

[8] “Tetapi bagi Soekarno, soal ini sebenarnya tidak begitu penting, sebab yang penting bagi Pemimpin Besar Revolusi ini ialah bahwa ‘si Kepala Batu’ Masyumi harus dienyahkan guna melicinkan jalan bagi realisasi sistem politik demokrasi terpimpinnya.” (lihat: Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 187)

[9] Abdul Rahman, Masyumi dalam Kontestasi Politik Orde Lama, (Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar), h. 164

[10] Ibid., h. 270

[11] Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Rezim Soeharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 1999) h. 61

[12] PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden Soekarno. PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pedukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya.

[13] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,  h. 145

[14] Ibid., 271

[15] Iswara N Raditya, Sejarah Nasakom: Upaya Soekarno Menyatukan Tiga Kekuatan Politik, https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-Soekarno-menyatukan-tiga-kekuatan-politik-dnlt diakses 12 November 02:18

[16]Nur Fitri Hermayati, Upaya Nasakomisasi TNI-AD dan Dampaknya Pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960-1967, (Universitas Pendidikan Indonesia: Skripsi, 2012), h.2

[17] M. Abduh Wahid, Pergumulan Islam dan Politik di Indonesia, (Jurnal Politik ProfetikVolume 7, No. 1Tahun 2019), h. 150

[18] Alim Bathoro, Redupnya Peran Politik Islam di Masa Demokrasi Terpimpin (Studi Kasus Pembubaran Masyumi Oleh Presiden Soekarno ), (Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 2 No. 02 Februari 2018), h. 30

[19] Zaprulkhan, Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Jurnal Review Politik                                                                                       Volume 03, Nomor 02, Desember2013) h. 160


Posting Komentar

0 Komentar