KONDISI POLITIK DAN PARADIGMA POLITIK ISLAM PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Konstitusi
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Kamsi, M.A.
Oleh:
Izzatul Ulya
(19203012042)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM ISLAM KONSENTRASI HUKUM TATA NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam histori Islam, diskursus pencarian konsep tentang hubungan agama dengan negara merupakan salah satu isu pokok dalam sejarah politik Islam. Gagasan konseptual pemikir muslim telah menggambarkan ihtiar pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau pemerintah sebagai faktor determinan dalam upaya memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pemikiran politik Islâm merupakan hasil dari perumusan ulama melalui kerja intelektual dalam rangka menggali dan menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berkembang. Hubungan agama dan politik dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena hubungan ketegangan dan pertentangan. Dalam hal ini, terdapat tiga paradigma pola relasi antara agama dan negara, di antaranya;[1] paradigmaa pertama, mengajukan konsep kesatuan antara agama dan negara. Hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainya karena terdapat wilayah agama dalam dan politik (integrated); paradigma kedua, Paradigmaa kedua mengajukan konsep pemisahan hubungan agama dan negara Agama merupakan urusan privat; paradigma ketiga, Paradigmaa ketiga adalah paradigmaa simbiotik-mutualistik yang menyatakan bahwa agama dan negara memiliki hubungan yang saling menguntungkan.
Sepak terjang politik Islam di Indonesia sudah ada sejak awal berdirinya partai Masyumi sebagai upaya dan usaha untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa atau Negara Islam, hingga akhirnya Masyumi bubar tanpa ada hasil untuk merubah sistem pemerintahan walaupun di Indonesia umat Islam merupakan masyarakat mayoritas yang memiliki hak dalam pemerintahan. Hal ini berkaitan erat dengan demokrasi terpimpin.
Sejarah demokrasi Terpimpin bermula ketika kehidupan sosial politik di Indonesia ketika era Demokrasi Liberal (1950 - 1959) belum mencapai kestabilan nasional. Kabinet yang sering mengalami perubahan membuat program kerja kabinet tidak dijalankan dengan baik. Partai-partai politik bersaing, saling menjatuhkan, dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok. Dari sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik. Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno mengubur partai-partai politik era Demokrasi Liberal, setidaknya menyederhanakan partai-partai politik dan membentuk cabinet yang berintikan 4 partai yang menang pada pemilihan umum 1955.[2]
Lebih jauh Presiden juga menekankan bahwa Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957 yang merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, pertama, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang. Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.
Pada akhirnya gagasan demokrasi terpimpin Soekarno mendapat dukungan dari lembaga-lembaga negara yang telah diatur kekuasaan Soekarno. Pada tahun 1965 MPRS mengeluarkan Ketetapan No. VIII/MPRS/1965 yang berisi pedoman pelaksanaan demokrasi terpimpin. Ketetapan ini memuat isi yang menekankan proses pengambilan keputusan yang harus dilakukan dengan cara musyawarah mufakat, tetapi jika musyawarah mufakat tidak dapat dicapai, maka keputusan diberikan kepada pimpinan. Mekanisme yang demikianlah yang justru memberikan peluang pada Soekarno untuk menguasai setiap pengambilan keputusan.
Garis politik Soekarno dapat memperlihatkan stabilitas terutama setelah dilakukannya penyederhanaan sistem kepartaian dan dibentuknya Front Nasional. Tetapi stabilitas yang dibangun waktu itu merupakan stabilias semu, sebab seperti ternyata kemudian ia tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses penggantian kepemimpinan. Stabilitas yang ada waktu itu hanya mengandalkan pada adanya tokoh politik yang mengelola Front Nasional yang seolah-olah mewakili sistem partai tunggal yang tidak terlihat.[3] Melalui satu partai ini dibina suatu gaya yang berorrientasi pada nilai secara mutlak dengan konsekuensi bahwa interpretasi dari pemerintah dianggap benar tanpa ada tawaran dan tidak mengenal adanya alternative lain.
Selain itu pada era demokrasi terpimpin berlangsung, pegulatan politik Islam dianggap belum nampak.[4] Pada era ini kekuatan politik Umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno, yakni memberikan kesempatan lebih luas kepada PKI untuk bergerak dan menguasai politik nasional serta kebijakan membubarkan Masyumi yang dianggap musuh revolusi. Adanya perbedaan ini menyebabkan kristalisasi dalam tubuh Islam serta berkurangnya kontribusi politik Islam pada era ini. Hal itu juga disebabkan karena kebijakan Soekarno yang menginginkan koalisi antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
a. bagaimana keadaan politik pada masa orde lama era Demokrasi Terpimpin?
b. bagaimana hubungan agama dan negara pada masa orde lama era Demokrasi terpimpin?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis sampaikan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
a. untuk mengetahui politik pada masa orde lama era Demokrasi Terpimpin
b. untuk hubungan agama dan negara pada masa orde lama era Demokrasi Terpimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik Era Demokrasi Terpimpin
Berakhirnya demokrasi liberal menandai bermulanya era demokrasi terpimpin. Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin bertolak belakang dengan yang terjadi pada era demokrasi parlementer atau liberal. Sistem politik yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin muncul secara resmi setelah konstituante dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun UUD yang tetap, serta dibubarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistem yang berlaku sebelumnya, ketika politik sangat ditentukan oleh partai-partai melalui sistem free-fight. Proses pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat gotong royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai penguasa yang otoriter. Berdasarkan itu, terdapat dua kekuatan lain yang mengokohkan kekuatan politiknya, di antaranya Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga pada masa itu terdapat tiga kekuatan, yakni Soekarno, AD, dan PKI. Sedangkan partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal menjadi lemah, kecuali PKI yang justru mampu memperluas pengaruhnya yang berlindung di bawah Soekarno; sementara AD memperluas peran dan kekuasaan politiknya.[5]
Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun secara lebih rinci pengertian Demokrasi Terpimpin diambil dari pidato Soekarno dalam rangka HUT kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1959 yang pokok-pokoknya sebagai berikut; pertama, tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara; kedua, tiap orang mendapat kehidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Sejarah membuktikan apa yang dikhawatirkan para penentang demokrasi terpimpin, dalam praktiknya Soekarno melaksanakan demokrasi terpimpin jauh dari yang diteorikan. Pada era ini justru dianggap sebagai era yang tidak demokratis yang justru mengarah sistem otoriter. Selain itu, seperti yang terdapat dalam bab sebelumnya, bahwa selain Soekarno juga terdapat dua kekuatan lain yakni AD dan PKI.
Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya. TNI, yang sejak kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik. Dihidupkannya UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya. Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.
Selain itu, AD mendapatkan legitimasinya untuk ambil bagian dalam dunia politik justru melalui konsepsi tentang gagasan perwakilan fungsional. Melalui perwakilan fungsional inilah militer masuk dalam Dewan Nasional dan memanfaatkan dewan tersebut untuk menguatkan legitimasi atas kehadirannya di dunia politik. Masuknya militer inilah yang menjadi penyebab melemahnya partai-partai, kecuali PKI.
Soekarno sendiri untuk basis legitimasinya, Soekarno menginginkan partai-partai itu tidak mati sama sekali karena masih membutuhkan dukungan walaupun dari partai lemah melalui Dront Naional, MPR, DPR, dan DPA yang dianggap sebagai basis legitimasi. Soekarno membiarkan pengurangan aktivitas parpol oleh militer dengan tetap menjaga agar tidak mati.[6] Untuk itu militer melakukan berbagai tindakan pelemahan parpol dengan eksistensinya di posisi pinggiran tanpa peran politik yang berarti kecuali memberi dukungan terhadap Soekarno.
Permasalahan di atas menjadikan Soekarno memaksa pembubaran Partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Partai Masyumi dianggap oposisi dan menentang revolusi yang menurut Soekarno belum selesai. Masyumi tidak memberikan dukungan bagi Soekarno yang pada akhirnya dibubarkan dengan cara tidak adil. Soekarno juga menuduh Masyumi sebagai dalang DI/TII. Apalagi daerah-daerah yang memberontak adalah kantong-kantong Masyumi. Ditambah lagi dengan tokoh Masyumi seperti Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap yang ikut dalam pemberontakan.[7] Padahal waktu itu mereka tidak lagi menjadi pemimpin formal Masyumi. Sehingga pemberontakan yang dituduhkan kepada Masyumi tidak didukung oleh dokumen autentik.[8]
Partai Masyumi menghadapi Keputusan Presiden No.200 tahun 1960 dengan dua cara. Pertama, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801 BNI-25/60 tanggal 13 September 1960. Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Soekarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Soekarno terhadap pengadilan.[9]
Sebaliknya, tiga partai Islam lain yakni NU, PSII, dan Perti berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno. Tokoh-tokoh NU yang ikut ambil dalam bagian demokrasi ini adalah KH. Idam Khalid, K.H. Achmad Sjaikhu, dan K.H. Saifuddin Zuhri. Adapun K.H. Zuhri merupakan tokoh yang bertahan menjadi Menteri Agama pada era demokrasi terpimpin. Untuk mendukung pandangan dan pendiriannya, NU menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh.[10] NU menggunakan kaidah seperti kaidah lima, yakni tentang niat, keyakinan yang tidak dapat dihapus dengan keraguan, kesukaran menarik kemudahan, kemudharatan harus dileyapkan, dan adat kebiasaan ditetapkan sebagai huku. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan berbagai hukum dalam Islam di antara kompleksnya masalah hukum mengenai kenegaraan.
Dalam demokrasi terpimpin terdapat aliansi kompetitif antara Soekarno dan pimpinan AD. AD muncul diwujudkan dalam struktur pemerintahan daerah ketika masa keadaan darurat sejak pertengahan 1950-an. Rentang waktu inilah dipergunakan AD untuk memperkokoh basis politiknya. Selain itu PKI muncul yang dulunya sebagai partai oposan masuk ke dalam eksekutif dan merupakan salah satu aliansi yang diperlukan oleh Soekarno.[11]
PKI sendiri berperan langsung di bawah Soekarno. Hal ini dikarenakan Aidit membangun kembali partai ini melalui jalur damai, yakni bekerja berdasarkan sistem demokrasi liberal dan turut serta dalam pemilu dan berhasil membangun basis massa pendukung yang sangat kuat. Kemampuan pipmpinan partai dan kecondongan Soekarno inilah yang membuat posisi PKI semakin kuat.[12] Factor inilah yang membuat PKI menjadi organisasi paling efektif di samping AD. Jadi pada demokrasi terpimpin, ketiga kekuatan politik ini saling memanfaatkan. Soekarno dibutuhkan PKI untuk menjadi pelindung melawan AD, sedangkan AD membutuhkan Soekarno untuk memberi legitimasi untuk keterlibatannya dalam politik. Sedangkan Soekarno membutuhkan PKI dan AD karena AD dihadapkan dengan PKI untuk menghambat partai agar tidak terlalu kuat. Sedangkan PKI diharapkan dapat menggerakkan dukungan rakyat dan mendapatkan massa yang besar.[13]
Di luar kekuatan hubungan Soekarno dengan AD dan PKI, hal ini berdampak terhadap NU yang sedang terlibat aktif dan ingin mewarnai peta pencaturan politik yang berkembang ketika itu. Namun, NU menghadapi kesulitan. Di satu pihak, NU sudah menyatakan loyal dengan pemerintahan Soekarno. Di sisi lain, ia menolak adanya PKI.[14] Dengan itu, menolak PKI berarti menolak Soekarno yang tentu akan menjerumuskan NU sendiri ke dalam kehancuran. Bahkan NU hanya dianggap sebagai alat politik Soekarno dan kolot sehingga mudah dikuasai.
Namun, hubungan NU dan Soekarno sudah terjalin dengan kuat. Bahkan partai NU bersama partai Islam lainnya yang mendukung demokrasi terpimpin serta pihak nasionalis dan komunis pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat presiden Soekarno seumur hidup. Dalam hal ini, NU menggunakan paradigmaa politik Sunni klasik untuk mempertahankan pendirian mereka. Bisa dilihat bahwa NU ingin memberi simbol-simbol keagamaan dan kepemimpinan Soekarno, yakni mengintegrasikan antara Islam dan politik oleh NU. Mereka menganggap bahwa kekuasaan Soekarno adalah maksum. Karena sifat inilah yang membuat NU terjungkal dari sejarah politik Indonesia modern bersamaan dengan kegagalan pemberontakan PKI. Perjuangan politik Islam di bumi Indonesia pun mengalami kegagalan kembali.
Nasakom
Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah dipikirkan oleh Soekarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Soekarno menulis:
“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Soekarno.
“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.
Tepatnya 1956 atau 11 tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mengumandangkan kembali gagasan yang pernah dilontarkannya pada 1926 itu. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia. Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Soekarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.[15]
Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan. “Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” sebutnya.
Maka, pada Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.
Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh Mohammad Hatta, sang wakil presiden. Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu. Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut, Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Soekarno semakin otoriter.
Soekarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, sang penguasa berucap lantang: “Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Soekarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.
Soekarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”
Pada perkembangannya proses penyisipan misi Nasakom ini tidak berjalan seperti apa yang diharapkan oleh Presiden Soekarno karena banyak pihak khususnya pihak Angkatan Darat yang menentang disebarkannya konsep Nasakom. Penentangan ini lebih ditujukan pada tidak sesuainya konsep Nasionalisme dan konsep Agama disetarakan bahkan disatukan dengan konsep komunis. Selain itu, pihak Angkatan Darat sendiri telah sejak lama bersebrangan dengan PKI. Oleh karena itu sejak dikeluarkannya konsep Nasakom banyak pihak Angkatan Darat yang menilai bahwa Presiden Soekarno memiliki haluan komunis dalam pemikirannya. Sehingga dalam perkembangannya pihak TNI-AD terbagi kedalam dua kubu yaitu kubu yang pro terhadap Presiden Soekarno dan pihak yang kontra terhadap Presiden Soekarno. Namun disisi lain, dalam menjalankan misinya pihak TNI-AD bersikap untuk lebih netral yaitu sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pengatur keamanan negara.[16]
Penyisipan misi Nasakom dalam tubuh Angkatan Darat ini ternyata menimbulkan hubungan yang tidak baik antara Angkatan Darat dengan PKI pada masa ini serta antara Angkatan Darat dengan Presiden Soekarno. Hubungan yang tidak baik ini menimbulkan kekuatan politik yang ingin ditunjukan oleh setiap kepentingan sehingga terbentuklah tiga kekuatan politik besar yang saling bersaing pada masa Demokrasi Terpimpin yaitu antara Presiden Soekarno, TNI-AD dan PKI. Pertentangan ini berpuncak pada peristiwa G30S/PKI tahun 1965 dan sampai pada munculnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 yang dianggap sebagai sebuah kudeta pemerintahan Presiden Soekarno oleh Mayor Jenderal Soeharto, seorang Jenderal yang baru terdengar namanya pada peristiwa ini. akhir dari peristiwa ini mengakhiri pula kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Sehingga pada akhirnya berdasarkan Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 pemerintahan Presiden Soekarno berakhir dan mulailah pemerintahan baru dibawah kekuasaan Mayor Jenderal Soeharto.
B. Hubungan Islam dan Negara Era Demokrasi Terpimpin
Sejak diterapkannya Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno, Indonesia mengalami masa yang disebut Orde Lama. Walaupun mendapatkan tantangan dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Ketua Masyumi waktu itu (Mohammad Natsir) yang menganggapnya sebagai sistem diktator. Pada periode ini, secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, tapi berpecah-pecah, berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno. Persoalan pilihan untuk menduukung atau tidak mendukung dalam suatu sistem kekuasaan telah membelah umat ini menjadi dua kubu yang saling berhadapan, yaitu kubu Masyumi dengan sikapnya yang keras menentang ide Demokrasi Terpimpin, sementara kubu NU, PSII, dan Perti yang mendukung dan turut di dalamnya.[17]
Demokrasi Terpimpin telah berdampak pada Masyumi, hubungan Masyumi yang tidak harmonis dengan Soekarno, dan PKI. Baik dalam persidangan Konsituante tentang UUD 1945, dan kemudian kecurigaan Soekarno terhadap Islam yang berlebihan telah membentuk sikap kurang senang Soekarno kepada Masyumi. Apalagi sebagian bekas pengurus pusat Masyumi terlibat dalam PRRI. Hal terlihat dari pendapat Moh. Natsir (Masyumi) yang mengatakan tidak pernah percaya kepada janji Soekarno. Natsir mangantisipasi. "....bahwa segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa..." Dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan satu diktatur sewenang-wenang. Kritik Natsir adalah kritik dari orang yang memilih berada diluar diluar sistem, bahkan menentangnya. Namun demikian, NU lebih memilih berkoalisi dengan Soekarno dengan menerima Nasakom.[18]
Obsesi untuk menyatukan berbagai kelompok tersebut dalam Nasakom mungkin merupakan ide yang brilian, tapi ada juga yang menentang, misalnya Masyumi. Konsep nasakomnya Soekarno mungkin bagus dan fungsional dalam tataran konsep, tapi dalam praktik tak semudah yang diduga. Ada kendala-kendala lapangan yang tak mudah diatasi. Tokoh-tokoh Masyumi sangat keras dalam menentang ide Nasakom Soekarno, seperti Syafruddin Prawiranegara dan khususnya Mohammad Natsir. Natsir mempunyai prinsip bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masa-lah-masalah sosio-politik umat, di antara prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati, menurut Natsir, adalah prinsip syura. Natsir memang menghendaki negara yang pada prinsip-nya diatur oleh hukum-hukum Allah atau syariat Islam, namun tidak menjelaskan secara meyakinkan operasionalnya. Puncak pertentangan antara Soekarno yang nasionalis-sekuler dengan Natsir, yaitu dengan dibubarkannya Masyumi dan memenjarakan Natsir termasuk juga Prawiranegara pada tahun 1960. Perlu dicatat pula, pada masa orde lama ada gerakan yang ingin mendirikan negara Islam secara otentik, yaitu gerakan Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo yang berlangsung selama masa 1948 sampai 1962. Dalam tahun 1950, gerakan ini mendapat dukungan dari Jawa maupun luar Jawa. Dari luar Jawa, dukungan datang dari Aceh dan Sulawesi. Tahun 1951 dari Jawa, dukungan datang dari batalion 426 yang mempunyai pengalaman bertikai dengan lasykar komunis di masa perang gerilya, serta didukung pula oleh segolongan masyarakat di daerah selatan Jawa Tengah.[19]
Setelah Masyumi dibubarkan hanya tinggal satu partai besar Islam yaitu NU dan dua partai ukuran sedang yaitu PSII dan Perti. Ketiganya bekerjasama dengan Soekarno semasa demokrasi terpimpin dalam satu ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Ketiga partai Islam itu hams menghadapi PKI yang makin lama makin agresif memusuhi Islam serta PNI (Ali Sastroamijoyo) yang dekat PKI. Kepentingan umat Islam tentu tidak tersalurkan sepenuhnya pada ketiga partai politik Islam tersebut. Banyak kritik terhadap mereka. Namun, solidaritas partai-partai Islam itu (terutama NU dan PSII) ditunjukkan dalam membela HMI ketika organisasi ini diganyang terus hendak dihancurkan oleh PKI dan para sekutunya.
Namun, hubungan NU dan Soekarno sudah terjalin dengan kuat. Bahkan partai NU bersama partai Islam lainnya yang mendukung demokrasi terpimpin serta pihak nasionalis dan komunis pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat presiden Soekarno seumur hidup. Dalam hal ini, NU menggunakan paradigmaa politik Sunni klasik untuk mempertahankan pendirian mereka. Bisa dilihat bahwa NU ingin memberi simbol-simbol keagamaan dan kepemimpinan Soekarno, yakni mengintegrasikan antara Islam dan politik oleh NU. Mereka menganggap bahwa kekuasaan Soekarno adalah maksum. Karena sifat inilah yang membuat NU terjungkal dari sejarah politik Indonesia modern bersamaan dengan kegagalan pemberontakan PKI. Perjuangan politik Islam di bumi Indonesia pun mengalami kegagalan kembali.
Jadi pada dasarnya pada era demokrasi terpimpin ini secara tidak langsung menggunakan paradigmaa sekularistik di mana negara dipisahkan dengan urusan agama. Sehingga, praktis partai-partai Islam dalam masa Demokrasi Terpimpin tidak memiliki daya tawar yang tinggi terhadap Presiden. Karena setelah itu kekuatan politik yang dominan adalah Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Ketika kekuatan politik inilah yang saling bersaing untuk mendominasi dalam pembuatan kebijakan nasional. Setelah kekuatan Islam dimandulkan, maka Soekarno dan Angkatan Darat bekerjasama dalam membentuk tatanan baru yang lebih cocok dengan kebutuhan dan mengakui konstelasi kekuasaan yang ada. Orang bisa mengemukakan argument bahwa demokrasi terpimpin merupakan suatu sistem politik yang sehat selama Soekarno dan Nasution tetap saling mengakui fungsi masing-masing dan saling menghormati prerogative masing-masing
Dari kedua partai besar yang berpengaruh sebelumnya, sayangnya Masyumi dibubarkan karena dianggap penghambat revolusi. Gagasannya mengenai hubungan agama dan negara harus integral, justru posisi Masyumi kala itu dilemahkan. Begitupun dengan NU yang kala itu sedang menjalin kedekatan dengan Soekarno, dengan gagasannya mengenai paradigmaa simbiotik, di mana agama dan negara saling membutuhkan, justru posisi NU juga dilemahkan sehingga terjungkan oleh sejarah politik Indonesia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistem yang berlaku sebelumnya, ketika politik sangat ditentukan oleh partai-partai melalui sistem free-fight. Proses pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat gotong royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian menampilkan Soekarno sebagai penguasa yang otoriter.
2. Pada era Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik sangat lemah. Sehingga memunculkan bahwa pada era ini merupakan pemisahan antara agama dan negara. Begitupun dengan Masyumi, gagasannya mengenai hubungan agama dan negara harus integral, justru posisi Masyumi kala itu dilemahkan. Begitupun dengan NU yang kala itu sedang menjalin kedekatan dengan Soekarno, dengan gagasannya mengenai paradigmaa simbiotik, di mana agama dan negara saling membutuhkan, justru posisi NU juga dilemahkan sehingga terjungkan oleh sejarah politik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Abdurakhman dkk. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 1999
Iqbal, Muhammad dan Drs. H. Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971. Jakarta: LP3ES, 1989
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Depok: RajaGrafindo Persada, Cet ke-6, 2014
Syafi’i, Ahmad. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985
JURNAL DAN SKRIPSI
Bathoro, Alim. Redupnya Peran Politik Islam di Masa Demokrasi Terpimpin (Studi Kasus Pembubaran Masyumi Oleh Presiden Soekarno. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 2 No. 02 Februari 2018
Effendi, M. Rahmat. Pemikiran Politik Islam di Indonesia: Antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru. Jurnal Mimbar Volume XIX No. 1 Januari – Maret 2003 : 89 – 105
Hermayati, Nur Fitri. Upaya Nasakomisasi TNI-AD dan Dampaknya Pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960-1967. Universitas Pendidikan Indonesia: Skripsi, 2012
Rahman, Abdul. Masyumi dalam Kontestasi Politik Orde Lama. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Ridwan, Paradigma Relasi Agama dan Negara dalam Islam, Jurnal Volksgeist Vol. 1 No. 2 Desember 2018
Wahid, M. Abduh. Pergumulan Islam dan Politik di Indonesia. Jurnal Politik ProfetikVolume 7, No. 1Tahun 2019
Zaprulkhan, Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia. Jurnal Review Politik Volume 03, Nomor 02, Desember 2013.
WEBSITE
Raditya, Iswara N. Sejarah Nasakom: Upaya Soekarno Menyatukan Tiga Kekuatan Politik, https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-Soekarno-menyatukan-tiga-kekuatan-politik-dnlt
[1] Ridwan, Paradigma Relasi Agama dan Negara dalam Islam, Jurnal Volksgeist Vol. 1 No. 2 Desember 2018, hlm. 180
[2] Abdurakhman dkk, Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015) h. 82
[3] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Depok: RajaGrafindo Persada, Cet ke-6 2014), h. 142
[4] M. Rahmat Effendi, Pemikiran Politik Islam di Indonesia: Antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra, Masa, dan Pasca Orde Baru), Jurnal Mimbar Volume XIX No. 1 Januari – Maret 2003 : 89 – 105), h. 90
[5] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 130
[6] Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), H. 43
[7] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag dan Drs. H. Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 82
[8] “Tetapi bagi Soekarno, soal ini sebenarnya tidak begitu penting, sebab yang penting bagi Pemimpin Besar Revolusi ini ialah bahwa ‘si Kepala Batu’ Masyumi harus dienyahkan guna melicinkan jalan bagi realisasi sistem politik demokrasi terpimpinnya.” (lihat: Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 187)
[9] Abdul Rahman, Masyumi dalam Kontestasi Politik Orde Lama, (Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar), h. 164
[10] Ibid., h. 270
[11] Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Rezim Soeharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 1999) h. 61
[12] PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden Soekarno. PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno. Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan pedukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya.
[13] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 145
[14] Ibid., 271
[15] Iswara N Raditya, Sejarah Nasakom: Upaya Soekarno Menyatukan Tiga Kekuatan Politik, https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-Soekarno-menyatukan-tiga-kekuatan-politik-dnlt diakses 12 November 02:18
[16]Nur Fitri Hermayati, Upaya Nasakomisasi TNI-AD dan Dampaknya Pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960-1967, (Universitas Pendidikan Indonesia: Skripsi, 2012), h.2
[17] M. Abduh Wahid, Pergumulan Islam dan Politik di Indonesia, (Jurnal Politik ProfetikVolume 7, No. 1Tahun 2019), h. 150
[18] Alim Bathoro, Redupnya Peran Politik Islam di Masa Demokrasi Terpimpin (Studi Kasus Pembubaran Masyumi Oleh Presiden Soekarno ), (Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 2 No. 02 Februari 2018), h. 30
[19] Zaprulkhan, Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Jurnal Review Politik Volume 03, Nomor 02, Desember2013) h. 160
0 Komentar